Sabtu, 27 Desember 2008

Selintas TAHRIK

Masyarakat muslim terutama yang berpegang kepada madzhab Syafi’i telah mengetahui dan mengamalkan petunjuk dan ajaran para ulama bahwa sunnah ketika mengucapkan Asyhadu allaa ilaaha illallah pada duduk tasyahhud atau tahiyyat untuk mengangkat jari telunjuknya apabila telah sampai pada illallah dalam syahadat dan tidak diturunkan jari telunjuknya sampai mengucapkan salam.

Perlu diketahui yang disunnahkan hanyalah mengangkat jari telunjuknya saja tanpa tahrik (digerak-gerakkan) karena makruh hukumnya. Marilah kita ikuti dalil-dalilnya berikut ini :

Imam Muslim dalam Sohihnya telah diriwayatkan hadist dari Abdullah bin Umar ra.;

“Jika Rasulallah saw. duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya diatas lututnya yang kiri, dan meletakkan tangan kanannya pada lutut yang kanan, seraya membuat (angka) lima puluh tiga sambil berisyarat dengan telunjuknya”. (HR. Imam Muslim dalam Shohih-nya jilid I hal:408).

Yang dimaksud dengan lima puluh tiga dalam hadits itu ialah menggenggam tiga jari (jari tengah, jari manis dan kelingking) itulah angka tiga. Sedangkan jari telunjuk dan ibu jari di julurkan sehingga membentuk semacam lingkaran bundar yang mirip angka lima (angka bahasa arab), dengan demikian menjadilah semacam angka lima puluh tiga.

dan Imam Ahmad dengan menukil satu hadist yang telah diriwayatkan dari Numair Al-Khuzai seorang yang tsiqah dan salah seorang anak dari sahabat katanya ;

“Aku melihat Rasulallah saw. meletakkan dzira’nya [tangan dari siku sampai keujung jari] yang kanan diatas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya dan mem- bengkokkannya [mengelukkannya] sedikit”. (HR.Ahmad jilid III hal:471) dan juga hadist semakna telah dinukil oleh Abu Dawud dalam sunan nya jilid I Hal:260, An-Nasa’i jilid III hal:39 serta Ibn Khuzaimah dalam shohihnya jilid I hal:354)Dalam Ishobah Ibn Hajar telah mensohihkannya pula (silah rujuk Al-Ishabah no.8807), Ibn Hibban dalam As-Shohih jilid V hal:273; Imam Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra jilid II hal:131 serta perawi lainnya.

Adalah hadits yang telah diriwayatkan dari Ibnu Zubair bahwa :

“Rasulallah saw. berisyarat dengan telunjuk dan beliau tidak menggerak-gerakkannya dan pandangan beliau pun tidak melampaui isyaratnya itu” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban). Hadits ini merupakan hadits yang shohih sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jilid III hal:454 dan oleh sayyid Umar Barokat dalam Faidhul Ilaahil Maalik jilid 1 hal:125.

Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Zubair ra. bahwa “Rasulallah saw.berisyarat dengan jarinya (jari telunjuknya) jika berdo’a dan tidak menggerak-gerakkannya”. (HR.Abu ‘Awanah dalam shohihnya jilid II hal:226 ; Abu Dawud jilid I hal:260 ; Imam Nasa’i jilid III hal:38 ; Al-Baihaqi dalam syarh As-Sunnah jilid III hal:178 dengan isnad shohih). Ada pun hadits yang menyebutkan Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) itu tidak kuat (laa tatsbut) dan merupakan riwayat syadz (yang aneh). Karena hadits mengenai tasyahhud dengan mengisyaratkan (menunjukkan) telunjuk itu serta meniadakan tahrik adalah riwayat yang sharih (terang-terangan) dan diriwayatkan oleh sebelas rawi tsiqah dan kesemuanya tidak menyebutkan adanya tahrik tersebut.

Hadits-hadits lainnya yang tidak menyebutkan adanya menggerak-gerakkan jari telunjuk itu menguatkan keterangan dari hadits yang menafikannya. Dari hadits Ibnu Zubair tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa: a). Sunnah mengangkat telunjuk diketika tasyahhud. b) Nabi tidak menggerak-gerakkan telunjuknya dan pandangan Nabi terus tertuju kepada telunjuknya yang sedang berisyarat itu.

Waktu mengangkat jari telunjuk.

Dalam shohih Muslim II:890 meriwayatkan hadits dari Jabir ra. menyebutkan bahwa “Rasulallah saw., bersabda seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”.

Telunjuk disebut juga syahid (saksi), sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia berisyarat dengan telunjuk tersebut. Nabi saw. sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” (suka) berisyarat dengan telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi dalam sohihnya jjilid I hal:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar jilid III hal:51, dengan status hadits shohih.

Imam Baihaqi dalam sunan Baihaqi jilid II hal:133 menyebutkan:

“Rasulallah saw. melakukan itu (mengangkat telunjuknya) ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Mahamulia dan Mahaluhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata-kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat.

Dalam riwayat lain, Imam Baihaqi juga telah menukil dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan redaksi,

“Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah swt.)”, sedangkan ungkapan ketauhidan terdapat dalam kalimat syahadat itu (silah rujuk Sunan Baihaqi jilid II hal:133). Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Mujma’ Al-Zawaid jilid II hal:140, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar…”.

Hal ini juga didasarkan kepada hadits Abdullah bin Umar ra.;

“Dan (beliau saw.) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari lalu berdo’a”. (HR.Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, serta perawi lainnya). Do’a yang dimaksud hadits tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi saw. dan do’a-do’a lainnya sebelum mengucapkan salam.

Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah mengatakan :

Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyarat- kannya pada kata illallah….”.(silah rujuk Syarh As-Sunnah jilid III hal:177)

Berdasarkan hadits-hadits shohih tersebut, disimpulkan bahwa waktu untuk mengangkat dan mengisyaratkan (jari) telunjuk, yaitu ketika mengucapkan kalimat syahadat yakni Asyhadu an laa ilaaha illallah dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam. Para ulama telah melakukan ijtihad dimana tempat yang tepat untuk mengangkat telunjuk pada kalimat syahadat itu. Apakah sejak dimulainya tasyahhud atau ditengah-tengahnya karena di dalam hadits-hadits tersebut tidak ditentukan tempatnya yang tepat.

Adapun menurut madzhab Syafi’i, bahwa tempat mengangkat telunjuk itu sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah illallah, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Zubad karangan Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”.

Menurut madzhab Hanafi, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah diketika Laa ilaaha dan meletak kan telunjuk diketika illallah. Menurut pendapat ini, mengangkat telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian uluhiyyah (ketuhanan) dari yang selain Allah, sedangkan ketika meletakkan telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penetapan uluhiyyah hanya untuk Allah semata.

Menurut madzhab Hanbali, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah disetiap menyebut lafdhul jalalah pada tasyahhud dan do’a sesudah tasyahhud.


MAKRUHNYA TAHRIK

Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, Imam Bajuri telah menyebutkan dalam Hasyiahnya :

“Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuk- nya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan (silah rujuk Hasiyah al-Bajuri jilid 1 hal:220)

Sedangkan menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu' sbb ;

adalah menurut satu pendapat; batal sholat seseorang apabila dia meng- gerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut dimana pendapat ini bersumber dai Ibnu Ali bin Abi Hurairah (silah rujuk Al-Majmu’ jilid III hal:454). Dan yang jelas bahwa khilaf [perbeda- an) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.

Imam Nawawi sendiri telah berfatwa atas hal ini dalam Al-Fatawa-nya dan juga beliau (Nawawi) tuliskan dalam Al-Majmu' sbb :

"menyatakan ia (Imam Nawawi) akan kemakruhannya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan kekhusyuan. (silah rujuk Al-Fatawahalaman hal:54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya jilid III hal:454)

Begitu pula As-syeikh Bujairimi dalam Minhaj-nya, menyatakan :

“Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitu pula telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk. Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Diantara yang mendorong Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut keberada- annya didalam sholat”.(silah rujuk Bujairimi Minhaj jilid 1 hal:218)

Hal senada telah pula dinyatakan oleh Imam Haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj sbb :

“Tidak boleh mentahrik jari telunjuk diketika mengangkatnya karena ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.(silah rujuk Tuhfatul Muhtaj jilid II hal:80)

Selanjutnya As-Syeikh Jalalluddin dalam Mahalli telah pula menyatakan :

“Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan; ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafikan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.(silah rujuk Al-Mahalli jilid 1 hal:164)

Dalam kitab Imam Syarqowi telah pula dinyatakan :

“Mengangkat telunjuk itu adalah dengan tanpa tahrik. Telah datang pula hadits yang menunjuk adanya tahrik. Namun dalam kasus ini yang menafikan didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (bahwa yang menetapkan didahulu- kan dari yang menafikan). Hal ini karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu yakni; ‘Bahwa yang dituntut dalam sholat adalah tidak bergerak karena bergerak-gerak dapat menghilangkan kekhusyu’an dan juga tahrik itu adalah sejenis perbuatan yang tidak ada gunanya dan sholat haruslah terpelihara dari hal tersebut selama itu memungkinkan. Oleh karena itu ada pendapat yang membatalkan shalat karena melakukan tahrik walau pun pendapat ini dho’if" (silah rujuk Syarqawi jilid 1 hal:210)

Wallahu a'lam

1 komentar:

Muhammad Ahsan Maula mengatakan...

insyaAllah barokah ilmunya,,Amin

Posting Komentar