Sabtu, 20 Juni 2009

KRITIK HADIT SAHIH TAWASSUL

Kemuliaan Rasulullah SAW Baik Hidup Maupun Wafat ; Studi Kritis Hadis Tawassul.

Mayoritas Ahlussunnah menghalalkan tawassul tetapi terdapat sebagian kelompok yang katanya Ahlussunnah pula yaitu Salafy dan pengikutnya yang mengharamkan tawassul. Salafy atau yang lebih dikenal dengan Wahabi sangat mengecam yang namanya tawassul kepada Rasulullah SAW. Menurut salafy, tawassul datang ke kubur Nabi SAW dan meminta agar Rasulullah SAW mendoakan termasuk hal yang syirik.



Telah sampai kabar kepada saya bahwa diantara alasan mereka mengharamkan tawassul adalah karena Rasulullah SAW sudah wafat dan sudah tidak bisa mendoakan lagi. Dengan kata lain mereka berpandangan bahwa ketika Rasulullah SAW hidup maka bertawassul dengan meminta Beliau SAW untuk mendoakan itu dibolehkan tetapi setelah Beliau SAW wafat maka itu tidak diperbolehkan.

Pernyataan seperti ini jelas sekali kebatilannya karena terdapat dalil yang shahih dari Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Beliau SAW tetap bisa mendoakan kendati Beliau SAW sudah wafat. Hadis tersebut diriwayatkan Al Bazzar dalam Musnad Al Bazzar no 1925 atau Kasyf Al Astar Zawaid Musnad Al Bazzar 1/397 no 845

حدثنا يوسف بن موسى قال نا عبد المجيد بن عبد العزيز بن أبي رواد عن سفيان عن عبد الله بن السائب عن زاذان عن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إن لله ملائكة سياحين يبلغوني عن أمتي السلام وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم حياتي خير لكم تحدثون ونحدث لكم ووفاتي خير لكم تعرض علي أعمالكم فما رأيت من خير حمدت الله عليه وما رأيت من شراستغفرت الله لكم

Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad dari Sufyan dari Abdullah bin Sa’ib dari Zadzan dari Abdullah dari Nabi SAW yang bersabda “Allah SWT memiliki malaikat yang berkeliling menyampaikan kepadaku salam dari umatku” dan Rasulullah SAW kemudian bersabda “Hidupku baik bagi kalian, kalian menyampaikan dariku dan akan ada yang disampaikan dari kalian. Kematianku baik bagi kalian, perbuatan kalian diperlihatkan kepadaku. Jika Aku melihat kebaikan maka Aku memuji Allah SWT dan jika Aku melihat keburukan maka Aku meminta ampun kepada Allah SWT”.

Kedudukan Hadis

Hadis ini adalah hadis yang shahih dan diriwayatkan oleh para perawi shahih sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para ulama diantaranya Al Haitsami, Al Hafiz Al Iraqi dan Al Hafiz As Suyuthi.

Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 8/594 no 14250 juga menyebutkan hadis Abdullah bin Mas’ud ini dan berkata

رواه البزار ورجاله رجال الصحيح

Hadis riwayat Al Bazzar dan para perawinya adalah perawi shahih.

Al Hafiz Al Iraqi dalam Tharh Tatsrib Fi Syarh Taqrib 3/275 membawakan hadis ini dan berkata

وروى أبو بكر البزار في مسنده بإسناد جيد عن ابن مسعود رضي الله عنه

Diriwayatkan Abu Bakar Al Bazzar dalam Musnadnya dengan sanad yang jayyid(bagus) dari Ibnu Mas’ud radiallahuanh

Al Hafiz As Suyuthi dalam Khasa’is Kubra 2/281 menyatakan bahwa hadis ini shahih

وأخرج البزار بسند صحيح من حديث ابن مسعود مثله

Dikeluarkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang Shahih dari hadis Ibnu Mas’ud.

Kritik Salafy dan Jawabannya

Para pengikut salafiyun menyatakan bahwa hadis ini dhaif, kebanyakan mereka hanya mengulang pendapat Syaikh mereka Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ahadis Ad Dhaifah no 975. Syaikh Al Albani mengatakan bagian pertama hadis tersebut bahwa Malaikat menyampaikan salam kepada Rasulullah SAW adalah shahih dan diriwayatkan dengan berbagai jalan dari Sufyan dan ‘Amasy. Sedangkan bagian lainnya hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad sendiri. Oleh karena itu menurut Syaikh Albani tambahan itu syadz ditambah lagi Abdul Majid telah dibicarakan oleh sebagian ulama bahwa ia sering salah. Intinya Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadis Ibnu Mas’ud oleh Abdul Majid itu khata’ (salah).

jawaban :

Pernyataan Syaikh Al Albani tersebut tidak seluruhnya benar. Memang bagian awal hadis tersebut telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Sufyan dan ‘Amasy yang dapat dilihat dalam Sunan Nasa’i 1/189, Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 10/219-2210 hadis no 10528,10529 dan 10530, Mushannaf Abdurrazaq 2/215 no 3116. Sedangkan bagian akhir hadis tersebut yang memuat kata-kata Rasulullah SAW “hidupku baik untuk kalian” diriwayatkan oleh Abdul Majid dari Sufyan dari Abdullah bin Sa’ib dari Zadzan dari Ibnu Mas’ud. Selain itu tambahan ini juga diriwayatkan secara mursal oleh Bakr bin Abdullah Al Muzanni dengan jalan sanad yang tidak satupun memuat nama Abdul Majid yang artinya Abdul Majid tidak menyendiri dalam meriwayatkan hadis ini. Oleh karena itu riwayat Abdul Majid lebih merupakan ziyadah tsiqah yang diterima dan bukanlah tambahan yang syadz.

Kredibilitas Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad

Dalam usahanya mendhaifkan hadis tersebut, Syaikh Al Albani menunjukkan kelemahan pada Abdul Majid yaitu bahwa ia sering salah dan telah dibicarakan oleh sebagian ulama. Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad adalah perawi yang tsiqah, justru mereka yang membicarakannya itu telah keliru. Diantara mereka yang mengkritik Abdul Majid tidak ada satupun dari mereka menunjukkan alasan yang kuat .

Ulama Yang Menta’dil Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad

Dalam At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 6 no 724 disebutkan bahwa Abdul Majid adalah perawi hadis dalam Shahih Muslim. Hal ini berarti Imam Muslim memberikan predikat ta’dil kepadanya. Abdul Majid telah dinyatakan tsiqah oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Dawud, Nasa’i dan Al Khalili.

قال أحمد ثقة وكان فيه غلو في الإرجاء

Ahmad berkata dia tsiqat dan berlebihan dalam Irja’

قال عبد الله بن أحمد بن حنبل عن بن معين ثقة ليس به بأس وقال الدوري عن بن معين ثقة

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata dari Ibnu Ma’in “tsiqat laisa bihi ba’sun” dan Ad Dawri berkata dari Ibnu Ma’in “tsiqat’.

وقال الآجري عن أبي داود ثقة حدثنا عنه أحمد ويحيى بن معين قال يحيى كان عالما بابن جريج قال أبو داود وكان مرجئا داعية في الإرجاء

Al Ajuri berkata dari Abu Dawud “tsiqah, diceritakan kepada kami dari Ahmad dan Yahya bin Main , Yahya berkata “ia paling mengetahui tentang Ibnu Juraij”. Abu Dawud berkata “ia seorang Murjiah dan menyebarkan paham irja’

وقال النسائي ثقة وقال في موضع أخر ليس به بأس

An Nasa’i berkata “tsiqat” dan di saat yang lain ia berkata “tidak ada masalah”.

وقال الخليل ثقة لكنه أخطأ في أحاديث

Al Khalili berkata “tsiqat dan melakukan kesalahan dalam hadis”

Ibnu Syahin memasukkan Abdul Majid sebagai perawi tsiqah dalam kitabnya Tarikh Asma’ Ats Tsiqah no 978. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/612 memberikan predikat shaduq tetapi sering salah dan Adz Dzahabi dalam Mizan ‘Al Itidal no 5183 mengatakan bahwa dia seorang yang jujur dan penganut paham Murjiah.

Ulama Yang Menjarh Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad

Di antara mereka yang membicarakan Abdul Majid terdapat nama-nama Bukhari, Al Humaidi, Abu Hatim, Muhammad bin Yahya, Daruquthni, Abdurrazaq dan Ibnu Hibban. Tetapi tidak ada satupun dari mereka yang menunjukkan alasan yang kuat untuk mendhaifkan Abdul Majid. Dalam kitab At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 6 no 724 disebutkan

وقال البخاري كان يرى الإرجاء كان الحميدي يتكلم فيه

Bukhari berkata dia penganut paham irja’ dan Al Humaidi membicarakannya

وقال أبو حاتم ليس بالقوي يكتب حديثه وقال الدارقطني لا يحتج به يعتبر به

Abu Hatim berkata “tidak kuat dan dapat ditulis hadisnya” dan Daruquthni berkata “tidak dapat dijadikan hujjah tetapi dapat dijadikan i’tibar atau pendukung”

وقال العقيلي ضعفه محمد بن يحيى وقال أبو أحمد الحاكم ليس بالمتين عندهم وقال بن سعد كان كثير الحديث مرجئا ضعيف

Al Uqaili berkata “Muhammad bin Yahya melemahkannya”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “tidak kuat” dan Ibnu Saad berkata “banyak meriwayatkan hadis, Murjiah dan dhaif”.

وقال بن حبان كان يقلب الأخبار ويروي المناكير عن المشاهير فاستحق الترك

Ibnu Hibban berkata “dia sering membolak balik riwayat, meriwayatkan hadis-hadis munkar dari orang-orang terkenal oleh karena itu riwayatnya ditinggalkan”.

Kritikan Ibnu Hibban ini telah dinyatakan berlebihan oleh Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/612 ketika berkata tentang Abdul Majid

صدوق يخطئ وكان مرجئا أفرط بن حبان فقال متروك

Jujur tetapi sering salah, dia seorang murjiah. Ibnu Hibban berlebihan ketika mengatakan ia matruk.

Analisis Jarh Wat Ta’dil

Dalam ilmu hadis jika kita dihadapkan pada seorang perawi yang mendapat jarh dari sebagian ulama dan ta’dil oleh sebagian ulama lain maka hendaknya jarh tersebut bersifat mufassar atau dijelaskan karena jika tidak maka jarh tersebut tidak diterima dan perawi tersebut mendapat predikat ta’dil. Selain itu alasan jarh tersebut haruslah alasan yang tepat sebagai jarh bukan dicari-cari atau dikarenakan sentimen mahzab dan sebagainya sehingga perawi yang tertuduh tersebut memang layak untuk mendapat predikat cacat.

Setelah melihat berbagai jarh atau kritikan Ulama terhadap Abdul Majid maka kritikan tersebut dapat kita kelompokkan menjadi

Ulama yang mencacatkan Abdul Majid karena ia penganut paham Murjiah
Ulama yang mencacatkan Abdul Majid karena kesalahannya dalam hadis dan meriwayatkan hadis munkar
Ulama yang mencacatkan Abdul Majid tanpa menyebutkan alasan jarhnya.
.
Perawi Murjiah Yang Tsiqat

Pencacatan seorang perawi karena menganut paham Murjiah tidaklah dibenarkan dan sebenarnya sebagian mereka yang mencacat tersebut diam-diam mengakui akan hal ini. Misalnya saja Al Bukhari memasukkan nama Abdul Majid ke dalam Dhuafa As Shaghir no 239 dan yang tertulis disana

عبد المجيد بن عبد العزيز بن أبي رواد أبو عبد الحميد مولى الأزد كان يرى الإرجاء عن أبيه وكان الحميدي يتكلم فيه

Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad Abu Abdul Hamid mawla Al Azdi menganut paham irja’ dari ayahnya dan Al Humaidi membicarakannya.

Ini seolah-olah menunjukkan bahwa Bukhari menyatakan dhaif pada perawi yang Murjiah tetapi kenyataannya tidaklah seperti itu. Dalam kitab Dhu’afa tersebut no 24 Al Bukhari menuliskan

أيوب بن عائذ الطائي سمع الشعبي وقيس بن مسلم روى عنه بن عيينة كان يرى الإرجاء وهو صدوق

Ayub bin ‘Aidz Ath Tha’i mendengar dari Sya’bi dan Qais bin Muslim, meriwayatkan darinya Ibnu Uyainah, ia menganut paham irja’ dan ia shaduq (jujur)

Ayub bin ‘Aidz seorang perawi yang menganut paham irja’ tetap dikatakan sebagai shaduq atau jujur oleh Bukhari dan Ayub ini disebutkan dalam At Tahdzib jilid 1 no 746 bahwa beliau perawi Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i. Ayub juga telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Nasa’i, Abu Dawud, Ali bin Madini dan Al Ajli. Oleh karena itu menganut paham Irja’ bukanlah suatu cacat yang mendhaifkan bahkan Bukhari sendiri dalam Shahihnya meriwayatkan hadis perawi yang menganut paham Irja’ seperti Ayub bin ‘Aidz.

Dengan kata lain tindakan Bukhari yang memasukkan nama Abdul Majid dalam kitabnya Adh Dhu’afa bukan karena ia meragukan kredibilitasnya tetapi karena paham Irja’ yang dianut Abdul Majid seperti halnya Bukhari memasukkan nama Ayub bin A’idz ke dalam kitabnya Adh Dhu’afa padahal diketahui Bukhari sendiri mengakui kredibilitas Ayub dengan meriwayatkan hadis Ayub dalam Shahihnya.

Bisa diperkirakan bahwa kebanyakan mereka yang menolak riwayat Abdul Majid atau mencacatnya adalah dikarenakan paham irja’ yang dianut oleh Abdul Majid. Ibnu Ady dalam Al Kamil 5/346 berkata tentang Abdul Majid

وعامة ما أنكر عليه الإرجاء

Dan kebanyakan mereka yang menolaknya adalah karena Irja’

Oleh karena itu mereka yang mencacatkan Abdul Majid tanpa menyebutkan alasannya bisa dimasukkan dalam kategori ini seperti Abu Hatim, Abu Ahmad Al Hakim, Al Humaidi, Ibnu Saad (ketika mencacat Abdul Majid, Ibnu Sa’ad menyebutkan paham Irja’ Abdul Majid) dan Daruquthni (dalam kitab Sunan Daruquthni 1/311 no 33, Daruquthni malah menyatakan tsiqat kepada Abdul Majid). Padahal telah diketahui bahwa pencacatan karena mahzab seperti Irja’ tidaklah diterima. Adz Dzahabi dalam Man Takallamu Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq 1/124 no 220 berkata

عبد المجيد بن عبد العزيز بن أبي رواد المدني م على ثقة مرجى ء داعية غمزه ابن حبان

Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad Al Madani (perawi Muslim) seorang yang tsiqat. Dia seorang Murjiah yang menyebarkan pahamnya seperti yang diisyaratkan Ibnu Hibban.

Perhatikanlah, Adz Dzahabi kendati ia mengetahui bahwa Abdul Majid seorang Murjiah yang menyebarkan pahamnya, beliau tetap menyatakan Abdul Majid tsiqat, Ini berarti paham Irja’ sedikitpun tidak merusak kredibilitas Abdul Majid sebagai perawi hadis.


Analisis Kesalahan Abdul Majid

Selain Irja’, cacat yang lain yang disematkan kepada Abdul Majid adalah kesalahannya dalam meriwayatkan hadis sehingga terkesan ia meriwayatkan hadis yang bertentangan dengan ulama lain sehingga hadisnya dinilai mungkar. Tuduhan seperti ini tidaklah benar. Kesalahan yang dilakukan Abdul Majid adalah kesalahan yang bisa dilakukan oleh siapapun dan pada dasarnya kesalahan yang ia lakukan baru bertaraf dugaan bahwa ia salah. Abdul Majid pernah satu kali meriwayatkan hadis yang dinilai salah dan mungkar oleh para ahli hadis. Dalam At Tahdzib jilid 6 no 724 disebutkan

وقال الساجي روى عن مالك حديثا منكرا عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أبي سعيد الأعمال بالنيات وروى عن بن جريج أحاديث لم يتابع عليها

As Saji berkata “dia meriwayatkan hadis dari Malik yaitu hadis munkar dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar dari Abi Sa’id bahwa Amal tergantung niat.

Al Khalili dalam Al Irsyad 1/76 no 20 setelah menyatakan bahwa Abdul Majid tsiqah dan melakukan kesalahan dalam hadis, beliau mengutip hadis Malik di atas. Hal ini mengisyaratkan bahwa kesalahan yang dimaksud Al Khalili itu adalah hadis Malik tersebut.

Mengapa Abdul Majid dinilai salah dalam meriwayatkan hadis tersebut?, Hadis tersebut pada matannya shahih dan diriwayatkan dengan jalan yang shahih dengan sanad dari Malik dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim Al Taimi dari Alqamah dari Umar RA. Hadis ini telah disebutkan oleh para huffaz dengan sanad seperti itu dari Malik tetapi Abdul Majid meriwayatkan dari Malik dengan sanad yang berbeda yaitu dari Malik dari Zaid bin Aslam dari Atha’ bin Yasar dari Abu Sa’id RA. Oleh karena itulah Abdul Majid dinilai salah dan hadisnya dinyatakan mungkar karena menyelisihi para perawi lain. Padahal hadis Abdul Majid dan yang lainnya memiliki matan yang sama hanya saja sanadnya berbeda.

Seandainya ini disebut sebagai kesalahan maka kesalahan ini hanya bersifat dugaan semata karena siapa yang bisa memastikan bahwa hadis Malik dari Abdul Majid itu bermasalah. Bukankah masih ada kemungkinan bahwa Abdul Majid memang meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad demikian?. Taruhlah itu sebagai kesalahan lantas apakah tepat menjadikan satu kesalahan ini sebagai cacat Abdul Majid sehingga jika ia meriwayatkan hadis lain maka hadisnya mesti diragukan. Tentu saja tidak karena kesalahan seperti itu adalah kesalahan yang bisa dilakukan oleh siapapun atau perawi tsiqah manapun.

Semua penjelasan di atas sudah cukup untuk membuktikan bahwa Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad adalah seorang yang tsiqah, sedangkan cacat yang ditujukan kepadanya oleh sebagain orang tidaklah merusak hadis yang ia riwayatkan walaupun ia meriwayatkan secara tafarrud. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Bashar Awad Ma’ruf dalam Tahrir Taqrir At Tahdzib no 4160 menyatakan Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad tsiqah, mereka berkata

Ia adalah seorang yang tsiqah, kesalahan dalam hadisnya adalah sebagaimana orang lain juga bisa salah dan ia orang yang paling tsabit mengenai riwayat Ibnu Juraij. Dan ia dikecam orang-orang karena menganut paham Irja’ dan mereka mendhaifkannya karena sebab itu. Ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, Ibnu Main, Abu Dawud, Nasa’i dan Al Khalili. Ibnu Ady berkata “kebanyakan mereka yang menolaknya karena paham Irja’ yang dianutnya”.

Hadis Bakr bin Abdullah Al Muzanni

Hadis di atas ternyata tidak hanya diriwayatkan oleh Abdul Majid. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Bakr bin Abdullah Al Muzanni dengan sanad yang shahih sampai ke Bakr bin Abdullah. Qadhi Ismail bin Ishaq dalam kitab Fadhail Shalatu Ala Nabi no 25 dan no 26 meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad

حدثنا سليمان بن حرب ، قال : ثنا حماد بن زيد ، قال : ثنا غالب القطان ، عن بكر بن عبد الله المزني : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid yang berkata telah menceritakan kepada kami Ghalib al Qattan dari Bakr bin Abdullah Al Muzani bahwa Rasulullah SAW bersabda

حدثنا الحجاج بن المنهال ، قال ثنا حماد بن سلمة ، عن كثير أبي الفضل ، عن بكر بن عبد الله : أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال


Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Katsir Abi Thufail dari Bakr bin Abdullah bahwa Rasulullah SAW bersabda

Syaikh Al Albani dalam tahqiqnya terhadap kitab Fadhail Shalatu Ala Nabi no 25 mengatakan “isnadnya mursal shahih”. Begitu pula ketika mengomentari hadis no 26 “Para perawinya adalah perawi Muslim kecuali Katsir bin Abi Thufail”. Katsir Abi Thufail atau Katsir bin Yasar disebutkan Bukhari dalam Tarikh Al Kabir jilid 7 no 928 tanpa menyebutkan cacatnya. Dalam Lisan Al Mizan jilid 4 no 1535, Ibnu Hajar menyebutkan bahwa ia dikenal dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Hal ini cukup untuk menyatakan ia orang yang terpercaya.

Kemudian disebutkan pula oleh Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad 2/194

أخبرنا يونس بن محمد المؤدب أخبرنا حماد بن زيد عن غالب عن بكر بن عبد الله قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم

Telah mengabarkan kepada kami Yunus bin Muhammad Al Mu’addib yang berkata telah mengabarkan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ghalib dari Bakr bin Abdullah yang berkata Rasulullah SAW bersabda

Hadis Bakr bin Abdullah Al Muzani adalah hadis mursal karena beliau adalah seorang tabiin yang dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, Nasa’i,Abu Zar’ah, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban dan Al Ajli, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At Tahdzib jilid 1 no 889. Hadis Bakr bin Abdullah merupakan petunjuk bahwa Abdul Majid tidak menyendiri ketika meriwayatkan hadis ini. Lihatlah sanad-sanad hadis Bakr bin Abdullah tidak ada satupun yang memuat nama Abdul Majid.

Kesimpulan

Ada tiga kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan yang cukup panjang ini, yaitu

Hadis tersebut sanadnya Shahih

Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Rawad adalah perawi tsiqah

Abdul Majid tidak menyendiri ketika meriwayatkan hadis ini karena hadis ini telah diriwayatkan pula secara mursal oleh Bakr bin Abdullah.

Wallahu a'lam

Selengkapnya......

Senin, 15 Juni 2009

Tabaqat Mujtahid

Dalam pemikiran fikih dan syariat, dikenal peringkat (tabaqat) orang yang melakukan ijtihad yang disebut mujtahid. Peringkat tersebut berdasarkan atas tingkat kedalaman ijtihad dan syarat ijtihad yang dimiliki mujtahid. Dengan demikian, ada mujtahid yang mampu merumuskan metodelogi ijtihadnya sendiri dan ada yang hanya melakukan ijtihad dalam masalah tertentu.

Secara garis besar, peringkat ijtihad dilihat dari bidang ijtihadnya dapat disusun dalam tiga kategori. Pertama, ijtihad dalam melakukan istinbat hukum dan menyusun metodeloginya. Kedua, ijtihad dalam menjelaskan hukum hasil istinbat dan ketiga, ijtihad dalam menerapkan hukum. Dengan begitu, secara terperinci peringkat mujtahid dapat dipaparkan sebagai berikut;

1) Mujtahid fi asy-syar (mujtahid dalam bidang syariat) atau disebut al-mujtahid al-mustaqill (mujtahid yang mandiri). Ia mampu membentuk kaidah hukum dan metodeloginya sendiri secara orisinal sebagai dasar pembentukan fikihnya. Imam mazhab, seperti Abu Hanifah dan asy-Syafii termasuk dalam peringkat ini. Persyaratannya ialah menguasai bahasa Arab dan seluruh cabang ilmunya seperti ilmu tafsir, hadis dan metode istinbat hukum.

2) Mujtahid mazhab atau al-mujtahid al-mutlaq (mujtahid mutlak) yaitu orang yang memiliki syarat ijtihad peringkat pertama. Akan tetapi ia tak membentuk kaidah hukumnya sendiri, ia mengikuti metode ijtihad imam mazhab. Mujtahid peringkat ini ialam murid imam mazhab.

3) Mujtahid muqayyah (mujtahid terikat) yaitu orang yang melakukan ijtihad dalam bidang tertentu. Ia berijtihad dalam masalah hukum yang tidak ada nash-nya dalam mazhabnya.

4) Mujtahid at-tarjih (mujtahid yang melakukan tarjih) yaitu orang yang mengkaji hukum secara mendalam untuk mengetahui argumen terkuat dari pendapat imam mazhab atau mentarjih pendapat imam lainnya.

5) Mujtahid fatwa atau mujtahid yang membuat fatwa, yaitu orang yang melakukan ijtihad dengan melakukan pemeliharaan mazhab, mengutip dan memahaminya. Ia dapat membedakan pendapat mana yang terkuat dan mana yang lemah dari mazhabnya, tetapi tidak menetapkan dalil. Mujtahid peringkat ini, seperti para penulis matan, meliputi antara lain al-Kanz, dengan karya Radd al-Mukhtar 'Ala ad-Durr al-Mukhtar (Menolak yang Terpilih atas Dasar yang Terpilih) dan Al-Wiqayah (Pemeliharaan) dari kelompok Hanafiyah, dan Ar-Rafi'i serta Nawawi dari kelompok Syafi'iyah. ensiklopedi tematis dunia Islam

Selengkapnya......

Kamis, 04 Juni 2009

Pengenalan Hadits

Hadits adalah satu perkara yang harus diketahui oleh sesiapa saja yang akan dan sedang berTholabl Ilm. Sehingga untuk memahaminya, perlualah terlebih dahulu mengerti awal sekali hadit itu, sehingga akhir sekali ia mampu membedakan mana yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.

A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA

Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.

1. Hadits Mutawatir

a. Ta’rif Hadits Mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut istilah ialah:

“Suatu hasil hadits atas tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”

ini bermaksud bahwa :

“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”

Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.

Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.

Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.

b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.

a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi\’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:

“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).\” (QS. Al-Anfal: 64).

3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

c. Faedah Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath\’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).

d. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :

1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :

”Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.”

Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :

”Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.”

Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :

”Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”

Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :

Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.

2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :

yaitu :
”Hadits yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.”

bermaksud bahwa :
”Hadits yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”

Jadi hadits mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.

Contoh :

”Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istisqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)

Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

Artinya :

”Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”

3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :

”Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.”

Contoh :

Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.

Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.

2. Hadis Ahad

a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:

”Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir:”

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:

”Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”

b. Faedah hadis ahad

Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat’ie, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa \”Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud\”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.

Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.

Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.

Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.

”Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan.”

Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.

Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.

Contoh hadis :

”Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya.”

Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.

Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan;

”kami melihat Nabi SAW berbuat begini”.

Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.

Bila dua hadits memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.

Hadits yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.

Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.

1. Hadis Sahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

”Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”

Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri.

2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :

”yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan.”

3. Hadis Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.

Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :

”Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan.”

Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.

a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:

”Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya.”

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:

* Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.

Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.

Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.

Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma\’mulin bihi.

1. Hadis maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:

a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih.

2. Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:

a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.

B. Hadis Mardud

Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :

”Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan.”

Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:

”Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun.”

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak wajib diterima dan tidak wajib diamalkan.

D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA

1. Hadis Muttasil


Hadis muttasil disebutjuga Hadis Mausul.

”Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu\’ maupun hadis mauquf.”

Kata-kata ”hadis yang didengar olehnya” mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata ”yang didengar” karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu’an’an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata ’an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.

Contoh Hadis Muttasil Marfu’ adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

”Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya”

Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:

”Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya.”

Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.

Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi’in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil, tetapi jumhur mudaddisin berkata,

”Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan ”Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ”.

Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi’in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu’ adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi’in.

2. Hadis Munqati’

Kata Al-Inqita’ (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita’ merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita’ adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam.

Definisi Munqati’ yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:

”Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain.”

Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:

"Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati’ (terputus) persambungannya.”

Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata,

”Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya”.

Dengan demikian, hadis munqati’ merupakan suatu judul yang umum yang mencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.

Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:

”Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad.”

Definisi ini menjadikan hadis munqati’ berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan ”Salah seorang rawinya” defnisi ini tidak mencakup hadis mu’dal, dengan kata-kata, ”Sebelum sahabat” definisi ini tidak mencakup hadis mursal, dan dengan penjelasan kata-kata ”Tidak pada awal sanad” definisi ini tidak mencakup hadis muallaq


Wallahu a'lam

Selengkapnya......

الوهابية وتكفير اهل السنة واستحلال دمائهم

Virus Takfir, memang telah tumbuh dikalangan Ulama yang tumbuh subur hingga saat sekarang ini. Dimana virus ini telah menjalar tidak saja kepada seorang alim, namun telah masuk ke dalam hati-hati orang awwam, sehingga memunculkan begitu banyak pertengkaran sesama Muslim yang menguntungkan bagi Musuh-musuh Islam.

Berikut akan diberikan bagaimana lafadz "Takfir" itu dimuntahkan oleh Ibn Wahab dalam Karangannya sendiri "Ad-Durus Saniyah"

بقلم: امير جابر

بعد ان بينت في الجزء الاول ماقامت به الوهابية من حروب وتحالفات مع اعداء المسلمين طوال قرن من الزمان وان الثابت في عقيدة الوهابية هو تولي اولياء نعمتهم من النصارى المستعمرين واليهود المحتلين وان شعارهم العملي يقول لليهود والنصارى نحن حرب لمن حاربتم وسلم لمن سالمتم هكذا راينا كيف تم الايعاز للجيش الجراء من شيوخ الوهابية ليستخرجوا من الدين مايجوز محاربة الدولة العثمانية، عندما اراد الغرب استلاب ولاياتها وما ان اصبحت تركيا المعاصرة جزءا من المنظومة الغربية حتى حسن اسلامهم في نظر شيوخ الوهابية، وهكذا ايضا كفروا عبد الناصر وكل العرب القوميون عندما كانوا يحاربون الغرب واسرئيل لكن ما ان عمل السادات صلحا مع اسرائيل وجعل من مصر حليفا ستراتيجيا لامريكا حتى سكتت الالة الاعلامية الوهابية عنهم، وهكذا الحال مع شاه ايران الذي كان امراء الوهابيية يحجون الى طهران عندما كانت عاصمة للموساد والسي اي ايه، لكن ما ان جاء الخميني واخرجها من ذلك الحلف الشيطاني حتى لجأ شيوخ الوهابية الى خزانتهم وانتشرت الكتب الصفراء في كل مكان تهاجم الشيعة وتحرض عليهم ، وهكذا جرت الامور مع الاتحاد السوفيتي عندما كان يحارب الغرب ويسلح اعدائهم العرب بالسلاح الروسي، وماراينا كيف مدوا صدام بالمال حتى افلست خزائنهم عندما كان يحارب ايران الخميني نيابة عن الغرب لكن ما ان انقلب صدام على الدور المطلوب حتى استخرج بن باز من جعبته جواز التحالف مع امريكا لتدمير شعب العراق لايحتاج الى برهان، وهكذا الحال مع حزب الله وسوريا وحركة حماس المغضوب عليهم من قبل امريكا، وهكذا نشاهد رضاهم ودعمهم لاصدقاء امريكا واسرائيل مثل ابو مازن ومجموعة 14 اذار.

ان الولاء والبراء الذي تعرفه الوهابية وتتبناه هو تولي المغضوب عليهم والظالين ومحاربة اعدائهم اما مايكتبه شيوخ الوهابية ويستدلون فيه بالعديد من الايات المحكمات والاحايث النبوية حول الولاء والبراء فالظاهر هو لايشملهم لكنهم يطبقونه على غيرهم من عباد الله الذين يرسلون اوباشهم لاهدار دمائهم.

وفي هذا الجزء سابين للقراء الكرام تكفير الوهابية لاهل السنة واستحال دمائهم وقد اثرت هذا الموضوع لسبب وجيه وهو انه قد يعتقد بعض الشيعة وهم يرون الهجمة الوهابية الشرسة عليهم والتي اوصلت ببعض اوباشهم ان يفجر نفسه في اطفالهم ونسائهم وهو يظن انه يحسن صنعا ان تصرف هؤلاء القتلة هو تصرف سني خاصة وان الوهابيين يتدثرون الان باسم السنة لان المطلوب من اولياء نعمتهم وحافظي سلطانهم في هذه المرحة هو صناعة الفوضى الخلاقة من خلال حرب سنية شيعية على نطاق واسع، وقد صورت الوهابية نفسها وكانها حامي الحمى عن السنة وهي التي بدات بتكفيرهم ولازالت حتى الان تمنع من تدريس المذاهب الاربعة في السعودية ولاتسمح لفقائهم من التدريس في الحرم المكي او النبوي هذه العادة التي كانت معروفة من قرون حتى جاء من يسمون انفسهم باهل التوحيد والتجديد فمنعوهم .

وانا هنا سانقل جزء يسير من تكفيرهم لاهل السنة وكما جاء في الدرر السنية وهي من اهم الوسائل العملية التي يتعبد بها الوهابية وهذه هي النماذج كماوردت في تلك الوثيقة التكفيرية:

1-علماء الحنابلة وغيرهم في عهد ابن عبد الوهاب كانوا مشركين شركا اكبر ينقل من الملة: ومن نماذج تكفير المعين في كلام ابن عبد الوهاب قوله في رسالة الى سليمان بن سحيم الحنبلي(كما في الدرر السنية 10/31: نذكر لك انك واباك مصرحون بالكفر والشرك والنفاق. انت وابوك مجتهدون في عداوة هذا الدين ليلا ونهارا ..انك رجل معاند ضال على علم، مختار الكفر على الاسلام) وقال في الدرر السنية 10/78) فاما ابن عبد اللطيف وابن عفالق وابن مطلق وابن فيروز فسبابه للتوحيد ) علما ان محمد بن فيروز حنبلي مقلد لابن تيمية وابن القيم وباعتراف ابن عبد الوهاب بانه رجل من الحنابلة ) فاذا كان الحنبلي لايسلم من تكفير ابن عبد الوهاب اذا اختلف معه فمن يسلم اذن وقد صرح ابن عبد الوهاب في مكان اخر انه (كافر كفر اكبر مخرج من الملة) اذا كان هذا هو حال الحنبلي المقلد لابن تيمية وابن القيم فكيف بالفقهاء من المالكية والشافعية والاحناف والظاهرية فضلا عن فقهاء الزيدية والاباضية والامامية والصوفية.

2- المسلمون بنجد والحجاز ينكرون البعث؟

يزعم ابن عبد الوهاب ان اكثر اهل الحجاز ينكرون البعث(كما في الدرر السنية10/43

3- تكفير العالم المعين المسلم المتأول: والتكفير المخرج من الملة يترتب عليه امور خطيرة وكبيرة من اباحة الدم والمال وسبي الذرية ومنع التوارث وتحريم الاستغفار والصدقة عنهم وغير ذلك من الامور فلا يستطيع المسلم الا ان يعيش معهم عيش المنافقين فليس امامه الا السمع او القمع يخشاهم ان صدق ويخشى الله ان كذب يميته الاسلام ويحييه النفاق

4- تكفير من سب صحابيا:

اعتبر ابن عبد الوهاب ان من سب صحابا فهو كافر انظر الدرر السنية(10/369) علما بان هذا غير صحيح فالامام علي لم يكفر الخوارج وكانوا يكفرونه ويسبونه وكذلك ابو بكر كما جاء في مسند احمد بسند صحيح انه نهى عن ايذاء من يسبه ويغلظ له القول، ثم لماذا يجعل هؤلاء سب الصحابي كفرا وهم يدافعون عن معاوية وقد كان يسب عليا(ع) وهو من هو الم يثبت في صحيح مسلم امره بسب الامام علي ام ان حمى الامام علي مباح وحمى الطلقاء مصون لماذا جعلوا الدفاع عن الامام علي وانكار الظلم في حقه خاصا بكتب الشيعة فقط(مالكم كيف تحكمون).

5- تكفير البدو انظر الدرر السنية(10/113,114) وانهم اكفر من اليهود والنصارى وانه ليس عندهم من الدين شعرة وان نطقوا الشهادتين)

6- تكفير قبيلة عنزة؟(الدرر السنية(10/113)

7- تكفير قبيلة الظفير نفس المصدر(10/113) 8- تكفير اهل العينية والدرعية لانهم كانوا مع ابن سحيم في الرأي وكانوا من معارضي ابن عبد الوهاب الدرر(8/57)

8- تكفير السواد الاعظم من المسلمين؟

انظر تكفير السواد الاعظم في الدرر(10/8)

8- تكفير ابن عربي؟جاء في الدرر انه اكفر من فرعون وان من لم يكفره فهو كافر وتكفير من شك في كفره الدرر10/25).

9- تكفير من يتحرج من تكفير اهل لا اله الا الله وهي فتوى غريبة المقصود منها قطع كل تعاطف مع المخالفين الدرر10/139)

10- تكفير من يسمي اتباع ابن عبد الوهاب خوارج ويقف مع خصومهم ولوكانوا موحدين وينكرون دعوة غير الله(1/63)

11- تكفير الرازي صاحب التفسير. الدرر (10/272)

12- تكفير اكثر اهل الشام وانهم يعبدون ابن عربي وتكفير من يشك في كفر ابن عربي.الدرر 2/45)

13- المتكلمون كفار الدرر1/53)

13- قوله في الاشاعرة والمعتزلة حيث قال في ص 113 المعطل شر من المشرك والمعطلة عند الوهابية يدخل فيهم الاشاعرة والظاهري والصوفية والشيعة والاحناف. وقال في ص 120 (شرك كفار قريش دون شرك كثير من الناس اليوم.

14- تكفير الدولة العثمانية الدرر(10/429) وان من لم يكفرها فهو كافر لايعرف معنى لا اله الا الله وان ن اعانهم فقد ارتكب الردة صريحة قالها عبد الله بن عبد الرحمن البابطين تلميذ ابن عبد الوهاب).

- تكفير الاباضية . الدرر (10/431)

15- تكفير من دخل في الدعوة الوهابية وادعى ان اباءه ماتوا على الاسلام ؟ يسستتاب فان تاب والا ضربت عنقه وصار ماله فيئا للمسلمين . الدرر(10/143)

16- تكفير الجهمية(10/430) وانهم زنادقة مرتدون بالاجماع. والجهمية هم اهل ابوظبي ودبي وما حولها

16- من قال لا اله الا الله حال الحرب يقتل ولا يتوقف عنه كما فعل اسامة بن زيد لان صاحب اسامة لم يقلها قبل ذلك وهم يقولونها قبل ذلك(9/239) اي الن الكفر يشفع لصاحبة والاسلام لايشفع ولهذا لجأ بعض الحجاج الذين كانوا يتعرضون الى غارات الوهابية الى حيلة لحفظ دمائهم فكانوا يقولون لاتباع ابن عبد الوهاب عندما ياسرونهم نحن كفار ونريد ان نسلم على ايديكم فيحفظون دمائهم اما اذا قالوا لهم نحن مسلمين فلاينجوا منهم احد.

17- تكفير الاشاعرة – عقيدة الازهر الشريف وانهم لايعرفون معنى الشاهدتين(1/312,320,324, 364)18- تكفير الناس بالحرمين ومصر والشام واليمن والعراق والموصل والاكراد .(1/380,385) هذا ماسمح به وقتي وسانقل للقراء الكرام في الجزء الثالث موقفهم من التعليم. وهذا التكفير جعلوا منه مفتاحا للقتل وانتهاك الاعراض وسلب الاموال وهو متححق الان على ايدي الوهابية في العراق وهم وان يوجهون جل اجرامهم نحو الشيعة فهذا لايعني انهم لايستحلون دماء السنة ولكن هم يتعاملون بالمرحلية لانهم الان محتاجون لسنة العراق لاحتضانهم وحمايتهم ، واذا ما اختلفوا مع السنة فان اجرامهم لايقل ابدا عما يفعلوه بالشيعة وما يجري في الانبار والموصل و الجزائر وافغانستان والبلاد العربية الاخرى والاكراد لهو شاهد على عقيدة الوهابية خوارج هذا الزمان ، هذا هو الدين المدعوم من قبل اعداء المسلمين كيف لا ونحن نرى جل ضحاياه من المسلمين ولانه افضل طريقة لتشويه شريعة سيد المرسلين المهداة رحمة للعالمين

Selengkapnya......

Telaah Qunut Subuh

Pendapat ulama mengenai qunut subuh bermacam-macam. ada yang bilang boleh, tapi ada juga yang bilang bid'ah. perbedaan ini sebenarnya didasarkan atas datangnya riwayat yang bermacam-macam mengenai qunut subuh. lalu dengan riwayat yang bermacam-macam ini, menjadi bid'ahkah qunut subuh ? apakah nabi memang benar-benar tidak pernah melakukan qunut subuh sama sekali ?

Sebelum masuk pada pembahasan, ada baiknya saya sebutkan ulama-ulama yang mengatakan qunut subuh tidak ada sama sekali. mereka adalah : Abdullah bin mas'ud, abu hanifah, sufyan atsaury, dan imam ahmad bin hanbal. hujjah mereka adalah :

1. Dari anas :

" ان النبي صلي الله تعالي عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع
يدعو علي احياء من العرب ثم تركه " رواه البخاري ومسلم

Hadis anas radiallah 'anhu : "bahwa nabi SAW pernah qunut( dalam sebulan ) setelah ruku', berdoa pada untuk orang arab kemudian meninggalkannya."Diriwayatkan bukhari muslim dalam shohihnya.

2. عن ابي هريرة رضى الله عنه " ان النبي صلي الله تعالي عليه وسلم قنت بعد الركوع في صلاته شهرا يدعو لفلان وفلان ثم ترك الدعاء لهم "

Dari abi hurairah radiallah 'anhu : " NAbi SAW pernah qunut ( dalam sebulan )setelah ruku', berdoa untuk fulan dan fulan, kemudian meninggalkan doa tadi."hadis riwayat bukhari muslim.

3. وعن سعد بن طارق قال " قلت لابي يا ابي انك قد صليت خلف رسول الله صلي الله تعالي عليه وسلم وابى بكر وعمر وعثمان وعلي فكانوا يقنتون في الفجر فقال أي بنى فحدث " رواه النسائي والترمذي وقال حديث حسن صحيح

Dari sa'id bin thariq berkata : "aku berkata pada ayahku, hai ayah, engkau sholat dibelakang rasulilah SAW, abi bakr, 'umar, utsman, ,ali, serta mereka qunut pada sholat subuh. kemudian ayahnya berkata : itu adalah bid'ah." diriwayatkan nasai, tirmidzi. ( hadis ini diriwayatkan oleh tirmidzi dalam pembahasan sholat bab : ma ja'a fi tarkilqunut 402 dg lafadz : akaanu. kemudian berkata : hadis hasan shohih, ibnu hibban dg lafadz : innahu bid'ah.)

4. عن ابن مسعود رضى الله عنه قال " ما قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم في شئ من صلاته "

Dari ibnu mas'ud berkata : "rasulullah SAW tidak pernah satu kalipun dalam sholatnya". Hadis riwayat baihaqi 2/213.

5. عن ابن عباس رضي الله عنهما " القنوت في الصبح بدعة

dari ibnu 'abbas " qunut dalam shalat subuh bid'ah." hadis riwayat baihaqi 2/214, dan daruquthni 2/41.

6. عن ام سلمة " عن النبي صلي الله تعالي عليه وسلم انه نهى عن القنوت في الصبح "

dari umi salamah dari nabi SAW, bahwasanya nabi melarang qunut shubuh. Hadis riwayat baihaqi 2/214, dan daruquthni 2/38.

Ada yang bilang bahwa qunut shubuh tidak ada dalilnya. untuk menyeimbangkan dan membuktikan apakah memang tidak ada dalil dari Qunut itu, berikut dituliskan dalil-dalil adanya qunut shubuh :

1. diriwayatkan dari Anas :

" أن النبي صلي الله تعالي عليه وسلم قنت شهرا يدعوا عليهم ثم ترك فأما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا " حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه وممن نص علي صحته الحافظ أبو عبد الله محمد بن علي والحاكم أبو عبد الله في مواضع من كتبه والبيهقي ورواه الدار قطني من طرق بأسانيد صحيحة

"bahwa nabi qunut selama sebulan untuk berdoa kemudian meninggalkannya. adapun qunut dalam sholat subuh, nabi masih terus melaksanakannya sampai meninggal". hadis ini diriwayatkan oleh jamaah para hafidz, serta mereka menshohihkannya.. diantara ulama yang menshahihkan adalah al-hafidz abu 'abdillah muhamad bin 'ali, al-hakim, abu 'abdillah dibeberapa tempat dalam kitab-kitabnya, baihaqi..diriwayatkan juga oleh daruquthni dari banyak jalan dg sanad-sanad shohih.

2. عن العوام بن حمزة قال " سألت أبا عثمان عن القنوت في الصبح قال بعد الركوع قلت عمن قال عن أبى بكر وعمر وعثمان رضي الله تعالي عنهم " رواه البيهقي وقال هذا إسناد حسن

dari 'awwam bin hamzah berkata : "saya bertanya abu 'utsman ( ayah utsman ) tentang qunut dalam shalat subuh. abu utsman berkata : setelah ruku'. saya berkata : dari siapa ? abu utsman menjawab: dari abi bakr, umar, utsman". diriwayatkan baihaqi, berkata : sanadnya hasan.

3. وعن عبد الله بن معقل - بفتح الميم وإسكان العين المهملة وكسر القاف - التابعي قال " قنت علي رضى الله عنه في الفجر " رواه البيهقى وقال هذا عن علي صحيح مشهور

dari 'abdullah bin ma'qil( tabi'in ) berkata : "ali qunut dalam sholat subuh." diriwayatkan baihaqi, kemudian berkata : hadis ii diriwayatkan dari 'ali sahih masyhur.

4. عن البراء رضى الله تعالى عنه " أن رسول الله صلي الله عليه وسلم كان يقنت في الصبح والمغرب " رواه مسلم ورواه أبو داود وليس في روايته ذكر المغرب

dari bara' " bahwa rasulullah SAw qunut dalam shalat subuh dan maghrib". diriwayatkan muslim, dan abu dawud ( tapi tidak menyebutkan lafadz maghrib ).

Demikian dalil-dalil Ulama yang tidak menafikan qunut subuh. shahabat yang tidak menafikan qunut shubuh, bahkan menganggapnya sunat diantaranya: abu bakr shidiq, umar, utsman, 'ali, ibnu 'abbas, bara' bin 'azib. sedangkan ulama-ulama setelahnya yang sejalan adalah : madzhab ibn abi laila, hasan bin shalih, dawud, imam malik, imam syafi'i.

Lalu, bagaimana sebenarnya kedudukan dalil-dalil tersebut karena ianya seperti bercanggah satu di antaranya, berikut akan dituliskan jawaban imam nawawi dalam majmu'nya ( jilid 3 hal. 465 ) menanggapi dilarangnya qunut subuh atas dasar hadis-hadis diatas. berikut kutipannya :

وأما الحواب عن حديث أنس وأبى هريرة رضي الله عنهما في قوله ثم تركه فالمراد ترك الدعاء على أولئك الكفار ولعنتهم فقط لا ترك جميع القنوت أو ترك القنوت في غير الصبح وهذا التأويل متعين لان حديث أنس في قوله " لم يزل يقنت في الصبح حتى فارق الدنيا " صحيح صريح فيجب الجمع بينهما وهذا الذى ذكرناه متعين للجمع وقد روى البيهقي باسناده عن عبد الرحمن بن مهدي الامام انه قال انما ترك اللعن ويوضح هذا التأويل رواية أبي هريرة السابقة وهي قوله " ثم ترك الدعاء لهم "

والجواب عن حديث سعد بن طارق أن رواية الذين اثبتوا القنوت معهم زيادة علم وهم أكثر فوجب تقديمهم

وعن حديث ابن مسعود أنه ضعيف جدا لانه من رواية محمد بن جابر السحمى وهو شديد الضعف متروك ولانه نفي وحديث أنس إثبات فقدم لزيادة العلم

وعن حديث ابن عباس أنه ضعيف جدا وقد رواه البيهقى من رواية أبى ليلي الكوفى وقال هذا لا يصح وابو ليلى متروك وقد روينا عن ابن عباس انه " قنت في الصبح "

وعن حديث أم سلمة انه ضعيف لانه من رواية محمد بن يعلي عن عنبسة بن عبد الرحمن عن عبد الله بن نافع عن ابيه عن ام سلمة قال الدار قطني هؤلاء الثلاثة ضعفاء ولا يصح لنافع سماع من ام سلمة

"Adapun jawaban bagi hadis anas dan abu hurairah diatas ( yaitu hadis nomor satu dan dua yang menafikan qunut )pada lafadz "ثم تركه"( kemudian meninggalkannya ), yang dimaksud disini adalah meninggalkan doa untuk orang kafir serta pelaknatan nabi pada mereka saja. bukan meninggalkan seluruh qunut.atau meninggalkan qunut di selain subuh. ini adalah ta'wil yang sudah sangat jelas, karena hadis anas yang lain ( yang menyatakan bahwa nabi senantiasa melaksanakan qunut sampai meninggal ), yaitu " لم يزل يقنت في الصبح حتى فارق الدنيا " sangat jelas maknanya dan diakui shahih oleh kalangan hafidz hadis. maka itu wajib menjama'kan kedua hadis tadi. adapun yang menguatkan takwil ini justru riwayat dari yang menentang qunut subuh itu sendiri. yaitu hadi abu hurairah yang menyatakan " ثم ترك الدعاء لهم " ( kemudian meninggalkan doa bagi mereka kaum kafir ).

Sedangkan jawaban dari hadis sa'id bin abi thariq ( hadis nomor tiga diatas, dari dalil yang menafikan qunut) , banyak riwayat lain yang menetapkan adanya qunut, yang justru datang dari orang-orang yang lebih paham, serta jumlahnya lebih banyak. maka riwayat ini wajib diakhirkan karena banyaknya riwayat yang menetapkan adanya qunut serta datangnya dari orang-orang yang lebih paham.

Lalu jawaban dari hadis ibnu mas'ud ( hadis nomor empat diatas, dari dalil yang menafikan qunut ), bahwasanya hadis ini sangat dha'if. karena dalam rijalnya terdapat muhamad bin jabir, dia itu syadiduddha'fi serta matruk. serta hadis ini sifatnya menafikan ( qunut ), sedangkan ada riwayat lain ( yaitu hadis anas ) yang sifatnya menetapkan ( qunut ), dan hadis anas datangnya dari orang-orang yang lebih paham , maka yang menetapkan (qunut) wajib didahulukan.

Untuk hadis ibnu 'abbas ( hadis nomor lima, dari dalil yang menafikan qunut ) adalah hadis yang sangat dha'if. baihaqi meriwayatkan hadis ini dari abu laila al-kufi kemudian berkata : hadis ini tidak sah. abu laila itu matruk. sedangkan saya ( imam nawawi ) meriwayatkan bahwa ibnu 'abbas qunut dalam sholat subuh.(" قنت في الصبح ").

Sedangkan hadis terakhir yang dari umi salamah, susunan sanadnya melewati tiga orang ini, yaitu : riwayat dari muhamad bin ya'la dari 'anbasah bin 'abdirahman dari 'abdillah bin nafi' dari ayahnya dari umi salamah. Daruquthni berkata mengkomentari susunan ini : ketiga-tiganya dha'if. karena nafi' ( dalam susunan sanad ditulis "abiihi" ), tidak sah jika mendengar langsung dri umi salamah."


Demikian sedikit keterangan tentang qunut shubuh. semoga bermanfaat

Wallahu a'lam

Selengkapnya......