Minggu, 12 Juli 2009

Hadit Berpikir Sesaat Lebih baik daripada Ibadah Sunnat

Kita, manusia, oleh Allah I dianugerahi potensi otak untuk berpikir melebihi makhluk lainnya. Kelebihan ini diberikan agar diasah dan dipergunakan sebaik mungkin. Ungkapan “Apakah kalian tidak berpikir?” sering difirmankan Allah I dalam al-Qur’an untuk memantik kita agar senantiasa menggunakan potensi tersebut. Namun baru berapa dan dalam hal apa potensi tersebut kita pergunakan? Allah I melalui Nabi Muhammad r juga menjanjikan pahala yang sangat besar bagi siapa saja yang mau berpikir, sebagaimana yang tersurat dalam Hadis berikut :

فكرة ساعة خير من عبادة ستين سنة

Berpikir Sesaat Lebih baik daripada Ibadah 60 Tahun

Berbicara tentang Hadis di atas, tentu ada yang mengganjal dalam benak kita. Bagaimana mungkin aktivitas yang begitu mudah dan ringan ini dijanjikan pahala yang begitu besar? Mungkin untuk menjawab sedikit keganjalan ini sebaiknya kita mengkaji terlebih dahulu Hadis di atas, baik dari jalur transmisi, kapasitas, dan juga statusnya.

Sanad Hadis
Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Imam Dafr bin Ali dari Imam Abu Bakar bin Muhammad bin Ali dari Imam Muhammad bin Ahmad bin Abdurrahman, dari Imam Muhammad bin Hibban, dari Abdullah bin Muhammad bin Zakariya, dari Utsman bin Abdillah al-Qurasyi, dari Ishaq bin Nâjih al-Malâthî, dari Imam ‘Atha’ al-Khurasani, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah

Kapasitas Hadis
Hadis ini oleh Ibnu al-Jauzi dalam al-Maudlu’at Juz. 3 hlm. 144, divonis palsu dan tidak sah jika digolongkan sebagai Hadis (lâ yashihhu). Menurutnya, dalam rentetan mata rantai sanad, dua rawi tersohor yang terdapat dalam Hadis tersebut adalah pendusta:

Pertama, Ishâq bin Nâjih al-Malâthî. Banyak sekali komentar-komentar miring ditujukan padanya. Imam Ahmad bin Hanbal misalnya, berkomentar bahwa Ishaq adalah manusia paling pendusta. Imam Yahya juga berkomentar bahwa Ishaq adalah orang yang masyhur sebagai pendusta dan sering memalsukan Hadis. Imam Ya’qub al-Fashwa juga mewanti-wanti agar siapapun tidak boleh menulis Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh Ishaq. Komentar pedas juga terlontar dari Imam Ahmad bin Muhammad bin al-Qasim bin al-Muharraz, beliau mengatakan, “Ishaq itu pendusta besar, musuh Allah I, seorang laki-laki jelek serta kotor”.

Kedua, Utsman bin Abdillah al-Qurasyi. Imam Ibnu Hibban berkata, “Utsman suka membuat Hadis palsu dan meletakkannya pada rawi-rawi yang terpercaya.”

Hal ini juga dikuatkan oleh Imam al-Fakihani dalam Takhriju Ahadits al-Ihya’. Namun redaksinya tidak menggunakan ta’ marbuthah pada lafad fikratu. Beliau menjelaskan bahwa redaksi ini bukan sabda Rasulullah,melainkan perkataan Imam as-Sari as-Saqati


Tanbih :

Kita tidak bisa secara gegabah menolak Hadis tersebut dan tidak bahkan melarang mengamalkannya dengan berlandaskan paparan serta argumen Imam Ibnul Jauzi. Memang Hadis di atas diplot palsu olehnya, namun Imam al-Hafidz al-Iraqi dalam takhrîj-nya terhadap hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn tidak sampai memvonis palsu Hadis tersebut, beliau hanya mendha’ifkannya. Hal ini ditempung oleh Imam Al-Iraqi, karena Hadit tersebut juga mempunyai beberapa syâhid (Hadit penguat yang mempunyai substansi sama namun berbeda redaksi) yang diriwayatakan oleh Imam ad-Dailami dari Hadisnya Sahabat Anas bin Malik secara mauquf (perkataan sahabat Anas) yaitu:

تفكر ساعة في اختلاف الليل والنهار خير من عبادة الف سنة

“Berpikir sesaat di malam dan siang hari lebih baik dari pada ibadah seribu tahun.”

Juga syahid yang diriwayatkan oleh Imam Abus Syekh dalam kitab al-‘Uzhmah dari Hadisnya Amr bin Qais, yaitu:

بلغني ان تفكر ساعة خير من عمل دهر من الدهر

Telah sampai padaku (Amr bin Qais) bahwa berfikir sesaat lebih baik dari pada amal satu tahun”

Selain Hadis di atas juga terdapat beberapa redaksi yang bervariasi, namun substansinya sama dan
kapasitasnya tidak sampai pada status palsu (maudhû’), yaitu:

تفكر سنة خير من عبادة ستين سنة

Berpikir sesaat lebih baik dari pada ibadah 60 tahun.”

Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab al-‘Uzhmah dari Abi Hurairah dengan jalur transmisi Hadis yang dha‘if.

تفكر سنة خير من عبادة ثمانين سنة

“Berpikir sesaat lebih baik dari pada ibadah 80 tahun.”

Redaksi Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur ad-Dailami dalam kitab Musnadul-Firdaus. Namun Isnad
hadit ini sangat lemah. Dan masih banyak lagi redaksi lain yang berbeda di bagian akhirnya. Kadang memakai redaksi “lebih baik dari ibadah setahun”, kadang “lebih baik dari pada ibadah tujuh puluh tahun”, dan kadang “lebih baik dari pada bangun malam”.**

berikut pernyataan Al-Albani akan hadit yang semakna dengan hadit di atas :

وقال الحسن: تفكر ساعة خير من قيام ليلة وقاله ابن عباس وأبو الدرداء القرطبي في تفسيره 4/314

dan berkatan Ibn Abbas dan Abu Darda', berkata hasan "Berfikir sejenak lebih baik daripada menghidupkan Qiyamul Lail" (tafsir Qurthubi 4/314)

2. وعن الحسن البصري أنه قال: (تفكر ساعة خير من قيام ليلة) (ابن كثير في تفسيره 1/439)

dan daripada Hasan Bashori sesungguhnya ia berkata :
"Berfikir sesaat lebih baik daripada menghidupkan qiyamul lail" (tafsir Ibn Kathir 1/439)

3. عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (موقف ساعة في سبيل الله خير من قيام ليلة القدر ثم الحجر الأسود) (صحيح ابن حبان 1/462) والبيهقي في شعب الإيمان 4/40)، وأورده الهيثمي في (مارد الظمآن 1/381)

daripada Rosulullah SAW, berkata ia :
"bahwasanya sesaat di jalan Allah lebih baik daripada menghidupkan Qiyamul Lail di Malam Lailatul Qodhr di depan Hajar Aswad" (Sohih Ibn Hibban 1/462 dan Imam Baihaqi dalam Syu'bul Iman 4/40 dan telah melafadzkan pula Al-Haitamy dalam Maradul Zhoman 1/381)


وقال الشيخ الألباني رحمه الله تعالى: (صحيح): صحيح الجامع (6636)، صحيح الترغيب والترهيب (1223)، السلسلة الصحيحة (1068).

dan berkata Syeikh Al-albani :
Hadit-hadit tersebut Sohih (termaktub dalam Sohih Jami' 6636, dan dalam Sohih targhib wa tarhib 1223 dan dalam Sililah As-Sohihah 1068)


4. عن الحسن قال: (تفكر ساعة خير من قيام ليلة) (مصنف ابن أبي شيبة 7/190)، (ابن أبي عاصم في الزهد 1/272) (أبو نعيم في الحلية 6/271)

selanjutnya hadit tersebut (befikir sesaat lebih baik daripada menghidupkan qiyamul lail) termaktub pula dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah 7/190 dan Ibn Abi 'Ashim dalam Azzuhud 272/1) dan Abu Nu'aim dalam Hilyah 271/6 daripada Hasan berkata ia (hadit)....

5. عن أبي الدرداء قال: (تفكر ساعة خير من قيام ليلة) (البيهقي في شعب الإيمان 1/136)، و(ابن أبي عاصم في الزهد 1/139) (أبو نُعيم في الحلية 1/209

dan juga daripada Imam Baihaqi dalam syu'bul Iman 136/1 dan Ibn Abi 'Ashim dalam Azzuhud 139/1 dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 209/1, daripada Abi Darda' berkata ia (hadit)....

6. عن مكحول أن أبا الدرداء كان يقول: (من الناس مفاتيح للخير ومغاليق للشر ولهم بذلك أجر ومن الناس مفاتيح للشر ومغاليق للخير وعليهم بذلك إصر وتفكر ساعة خير من قيام ليلة) (السنة لابن أبي عاصم 1/129)، و(ابن المبارك في الزهد 1/332).

daripada Makhul, sesungguhnya Aba Darda' telah mengatakan :
sesiapa yang menginginkan kebaikan dan menolak akan keburukan dan tidaklah mereka itu merugi dan barang siapa yang mengingkan keburukan dan menolak kebaikan dan mereka itulah yang merugi dan berfikir sesaat itu lebih baik daripada menghidupkan Qiyamul Lail (Al-sunnah Li Ibn Abi 'ashim 129/1 dan Ibnl Mubark dalam Azzuhud 332/1)

7. (قيام ساعة في الصف للقتال في سبيل الله خير من قيام ستين سنة)

berdiri sessat di barisan terdepan ketika di Jalan Allah lebih baik daripada ibadah 60 tahun"

قال الشيخ الألباني رحمه الله تعالى: (صحيح): صحيح الجامع (4429).

berkata Al-albani bahwa hadit-hadit tersebut Sohih (dalam sohih jami' 4429)

kesimpulan :
bahwa hadit itu tidaklah Maudhu' litjama'i namun berbeda Ulama atas status hadit itu, namun setidaknya, setelah datang begitu banyak syahid (penguat) maka bisa dipastikan bahwa hadit itu bukan Muadhlu' (palsu) lebihlah ia itu menjadi "DHOIF" (lemah), namun di sisi lain bahkan Al-Albani menjadikan hadit itu "SOHIH" walaupun dengan redaksi yang sedikit berbeda

Wallahu a'lam


Selengkapnya......

Puasa Sunat

Puasa sunnat adalah satu yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan segala kelebihan atau Fadhilah di dalamnya sehingga begitu ditekankan oleh beliau (Rosulullah SAW), terutama untuk bulan-bulan HARAM (suci). Setiap kita sebagai seorang Muslim yang ingin mencapai keridhoan Allah, tentulah harus menambah amal 'ibadah dengan perkara yang sunat-sunat, karena tidaklah mencukupi bila kita hanya bersandar atas amal-amal yang fardhu, karena amal yang fardhu itupun penuh dengan kekurangan


Berikut akan coba diberikan secara ringkas Hadit-hadit yang berkenaan dengan hal tersebut, sbb :

Dalam Bidayatul Hidayah nya Imam Al-Ghazali :

والأيام الفاضلة التي شهدت الأخبار بشرفها وفضلها، وبجزالة الثواب في صيامها: يوم عرفة لغير الحاج، ويوم عاشوراء، والعشر الاول من ذي الحجة، والعشر الأول من المحرم، ورجب وشعبان، وصوم الأشهر الحرم من الفضائل، وهي ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب، واحد فرد وثلاثة سرد، وهذه في السنة

"dan adapun amal yang mengandung Fadhilah telah dikuatkan oleh khabar atas keutamaanya itu terhadap nilai pahala daripada berpuasa, adalah puasa di hari 'Arafah bagi yang tidak berhaji, puasa di hari 'asyura kemudian 10 hari di awal daripada bulan Dzulhijjah, 10 hari di awal daripada bulan Muharram, Rajab dan Sya'ban, dimana puasanya di bulan-bulan haram tersebut mengandung keutamaan. Juga pada bulan Dzulqoidah, Dzulhijjah, Muharram dan Sya'ban, daripada hari pertama sampai ke tiga, inilah yang disunnahkan".

jadi , 10 hari berpuasa itu tidaklah dikatakan oleh Al-Ghazali sebagai "disunnahkan" namun ia mengadungi Fadhilul a'mal yaitu kelebihan. Dan juga ia (Al-Ghazali) tidak mengkhususkan hanya di bulan Rajab saja, ada bulan-bulan lain. Sedangkan yang disunnahkan itu adalah puasanya 3 hari di setiap bulan.

satu yang menjadi catatan, memang dalam setiap karangannya, Imam Ghazali tidak melampirkan Hadit itu secara lengkap sanad dan statusnya, namun kita sebagai Tholabul Ilm yang masih awwam sekali atas ilmu dianjurkan untuk memahami bagaimana seorang Al-Ghazali yang sudah mencapai derajat Al-Imam, Al-Hujjah dalam Ilmu Agama ini, tentu tidak akan sembarangan meletakkan Hadit

Puasa Nabi Dawud 'alaihissalam :

عن ابى سلمه بن عبد الرحمن , عن عبد الله بن عمرو قال : قال لى رسول الله صلى الله عليه وسلم (( لقد اُخبرت انك تقوم الليل وتصوم النهار )) قال . قلت يا رسول الله صلى الله عليه وسلم . نعم قال (( فصم , وافطر , وصل ونم , فان لجسدك عليك حق , وان لزوجك عليك حقا , وان لزورك عليك حقا , وان بحسبك ان تصوم من كل شهر ثلاثه ايام , قال : فشددت فشدد على . قال: فقلت يا رسول الله صلى الله عليه وسلم : قال (( فصم من كل جمعه ثلاثه ايام )) قال: فشددت فشدد على . قال : فقلت : يا رسول الله انى اجد قوة , قال: صم صوم نبى الله داود, ولا تزد عليه , قلت يا رسول الله , وما كان صيام داود عليه السلام؟ قال : (( كان يصوم يوما, ويفطر يوما )) ::: رواه احمد ::: ,

Hadit ini telah diriwayatkan daripada Abi Salamah bin AbdurRahman daripada Abdullah bin amru berkata ia Rasulullah saw telah dikabarkan bahwa aku pernah berkata akan selalu salat qiyam, akan berpuasa pada siang harinya sepanjang hidupku. Kemudian Rasulullah saw. bertanya:

Betulkah engkau pernah bilang demikian? Aku menjawab: Betul, aku pernah mengatakannya, wahai Rasulullah. Rasulullah saw. bersabda: Sungguh engkau tidak akan mampu melakukan yang demikian. Oleh karena itu berpuasalah dan juga berbukalah. Tidurlah dan bangun malamlah. Berpuasalah tiga hari dalam setiap bulan. Sebab, satu kebajikan itu nilainya sama dengan sepuluh kebajikan. Dan yang demikian itu (puasa tiga hari dalam tiap bulan) nilainya sama dengan puasa satu tahun. Lalu aku katakan kepada Rasulullah saw: Tetapi
aku mampu berbuat lebih dari itu. Beliau bersabda: Berpuasalah sehari dan tidak puasa dua hari. Aku katakan kepada beliau: Tetapi aku mampu berbuat lebih dari itu. Rasulullah saw. bersabda: Jika begitu, berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, itu adalah puasa nabi Daud as. dan itulah puasa yang tengah-tengah.

Kemudian aku berkata: Sungguh aku mampu berbuat lebih dari itu. Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada yang lebih utama dari itu. Abdullah bin Amru ra. berkata: Aku terima tiga hari sebagaimana yang dikatakan
Rasulullah saw. adalah lebih aku sukai dari istri dan hartaku. [HR.Ahmad].

Puasa di hari 13, 14 dan 15 (3 hari) di bulan-bulan hijriah, berikut :

dalam sunan An Nasa'i :

أنبأ محمد بن عبد العزيز بن أبي رزمة قال حدثنا الفضل بن موسى عن فطر عن يحيى بن سام عن موسى بن طلحة عن أبي ذر قال أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم أن نصوم من الشهر ثلاثة أيام البيض ثلاث عشرة وأربع عشرة وخمس عشرة

"daripada Muhamamd bi abdul 'aziz bin abi Ruzamah berkata ia : telah mengkhabarkan kepadaku atas Fudhail bin Mushi daripada Fathor dari Yahya bi Samu dari Mushi bin Tholhah dari Abi Dzhar berkata ia, telah diperintahkan oleh Rosulullah SAW atas diriku bahwa sesungguhnya bila engkau (abi dzhar) ingin berpuasa dalam bulan tertentu selama tiga hari maka berpuasalah di hari ke 13, 14 dan ke 15" (HR. Nasa'i)

dalam sunan Ibn Majah :

أنبأ عمرو بن يزيد قال حدثنا عبد الرحمن قال حدثنا شعبة عن الأعمش قال سمعت يحيى بن سام عن موسى بن طلحة قال سمعت أبا ذر بالربذة قال قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا صمت ثلاثا من الشهر فصم ثلاثا يعني ثلاث عشرة وأربع عشرة وخمس عشرة

"daripada Muhamamd bi abdul 'aziz bin abi Ruzamah berkata ia : telah mengkhabarkan kepadaku atas Fudhail bin Mushi daripada Fathor dari Yahya bi Samu dari Mushi bin Tholhah dari Abi Dzhar berkata ia, telah diperintahkan oleh Rosulullah SAW atas diriku bahwa sesungguhnya bila engkau (abi dzhar) ingin berpuasa dalam bulan tertentu selama tiga hari maka berpuasalah di hari ke 13, 14 dan ke 15" (HR. Nasa'i)

hadits ini banyak diriwayatkan oleh para ahli hadit, seperti Imam Nasa'i, Ibn Majah dan Al-Hafidz dan statusnya SOHIH,

Puasa bagi seorang yang belum berkemampuan Menikah :

Dalam Bhulugul Maram nya Al-Hafidz pada bab Nikah, sbb :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ" مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

"Daripada Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata ia :

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai segenap para muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu berkeluarga hendaklah ia kawin, karena ia lebih dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, hendaklah berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." (Muttafaq 'Alaihi)"

nah, hadit itu telah diriwayatkan oleh dua orang Ahli Hadit ternama yaitu Bukhari dan Muslim dan statusnya SOHIH

Wallahu a'lam

Selengkapnya......

Rajab

Telah masyhur di lidah umat Islam seantero dunia, menisbahkan Rajab sebagai bulan Allah. Umum telah mengetahui dan mendengar hadits yang kerap diucapkan teristimewa apabila menjelang bulan Rajab, hadits yang menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda yang bererti: "Rajab itu bulan Allah, Sya`baan itu bulan aku dan Ramadhan itu bulan umatku." Maka hampir setiap tahun ada saja yang bertanya mengenai status dan kedudukan hadits tersebut yang berbunyi :

رجب شهر الله، وشعبان شهري، ورمضان شهر أمتي



Sebelum lebih jauh membicarakan hadit ini, perlulah kiranya kita mengetahui apa yang dimaksudkan dengan maudhu` dan apa pula yang dimaksudkan dengan dho`if. Ini dikarenakan kedua-duanya mempunyai perbedaan yang besar. Hadits maudhu adalah hadits palsu yang sama sekali tidak mempunyai sanad yang berkemungkinan bersambung atau berkemungkinan untuk dinisbahkan kepada Shodiqul Mashduq Nabi SAW. ianya sama sekali bukan sabda Nabi SAW, bisa dipastikan akan kebohongan atas siperiwayat. Sebaliknya, hadits yang dhoif adalah yang mempunyai sanad yang mursal atau muttasil kepada Junjungan Nabi SAW. Hanya saja, dalam sanadnya mempunyai kecacatan sehingga tidak dapat dihukumkan sebagai shohih atau hasan. Jadi maudhu` dan dho`if itu mempunyai perbedaan yang besar yang perlu kita beri perhatian sewajarnya.

Untuk satu kefahaman umum bahwa dalam menghukumkan hadits apakah ia Doif ataupun maudhu` bukanlah sesuatu yang mudah seperti membalikkan tangan. Ini dikarenakan para muhadditsin yang kenamaan telah berselisih pendapat mengenai status dan kedudukan hadits tersebut. Para muhadditsin tidak sekata dan tidak sepakat menghukumkannya sebagai maudhu`. Jika ada yang menyatakannya sebagai maudhu`, maka ada pula yang akan menyatakan bahawa ianya bukan maudhu` tetapi dho`if dan sebagainya.

Hadit itu bisa kita rujuk dalam الجامع الصغير من حديث البشير النذير karya Asshuyuthi no 4411 sbb

رجب شهر الله، وشعبان شهري، ورمضان شهر أمتي

"Rajab itu bulan Allah, Sya`baan itu bulan aku dan Ramadhan itu bulan umatku."

kemudian As-Suyuthi menyatakan :

أبو الفتح بن أبي الفوارس في أماليه عن الحسن مرسلا

hadits tersebut ada mempunyai sanad yang mursal kepada seorang tabi`in yang agung iaitu Imam Hasan al-Bashri rahimahUllah.

Kemudian hal ini dikomentari oleh Imam Munawi dalam "Faidhul Qadiir" setelah menukil pendapat al-Hafiz al-'Iraqi rahimahUllah sbb :

أبو الفتح بن الفوارس في أماليه عن الحسن) البصري مرسلا)

sebagaimana diriwayatkan oleh Abul Fath bin Abil Fawaaris dalam kitabnya "'Amaali" dan derajatnya adalah DHO`IF.

kemudian imam Manawi melanjutkan :

قال الحافظ الزين العراقي في شرح الترمذي : حديث ضعيف جدا هو من مرسلات الحسن رويناه في كتاب الترغيب والترهيب للأصفهاني ومرسلات الحسن لا شئ عند أهل الحديث ولا يصح في فضل رجب حديث اه وكلام المؤلف كالصريح في أنه لم يره مسندا وإلا لما عدل لرواية إرساله وهو عجيب فقد خرجه الديلمي في مسند الفردوس من طرق ثلاث وابن نصر وغيرهما من حديث أنس باللفظ المزبور بعينه

telah berkata Al-Hafidz Al-Iraqi dalam Syarh At-Turmudzi bahwa hadit tersebut adalah Doif Jiddan (sangat lemah), kerana hadits-hadist mursal yang dinisbahkan kepada Imam Hasan al-Bashri dalam Targhib wa Tarhib daripada Asfahani dan ia Mursal atas imam Hasan. Tidaklah ia mempunyai nilai di sisi para ahli hadits, dan mereka menyatakan bahawa adalah tepat jika sanad hadits tersebut dihukumkan sebagai mursal (doif). Ini adalah kerana Imam ad-Dailami dalam "Musnad al-Firdaus" telah meriwayatkan beberapa hadits yang seumpamanya pada lafaz daripada tiga jalan yang bersambung kepada sahabat Nabi SAW, Sayyidina Anas r.a. Ibnu Nashr dan lain-lain muhaddits juga telah meriwayat beberapa hadits yang seumpamanya dengan sanad yang sama. Maka ini menunjukkan bahawa hadits tersebut bukanlah semata-mata hadits mursal, tetapi hadits yang musnad yang bersambung sanad segala periwayatnya kepada Junjungan Nabi SAW.

dan al-albani telah menghukumkan hadit itu dengan "Doif" dalam Silsilah Doifahnya

jadi, kesimpulannya adalah hadit tersebut memang Doif, namun bukan Maudhu', karena sama sekali matannya tidak bertentangan dengan nash yang Sohih, maka ia boleh diamalkan dalam targhib wa tarhib maupun fadhoilul a'mal

Wallahu a'lam

Selengkapnya......

Kamis, 09 Juli 2009

Pembentukan dan Sejarah Hadist

Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun sering kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama.
Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al Qur’an

Struktur Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).

Contoh :
Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri” (Hadits riwayat Bukhari)

Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.

Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah :

Al-Bukhari daripada Musaddad dari Yahyaa dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas berkata Nabi Muhammad SAW

Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
• Keutuhan sanadnya
• Jumlahnya
• Perawi akhirnya

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

Matan
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah :
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri”

Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah :

• Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
• Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

Klasifikasi Hadits
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan)

Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni :

- marfu’ (terangkat)
- mauquf (terhenti) dan
- maqtu’

• Hadits Marfu’ adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
• Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu’.

Contoh :

Al Bukhari dalam kitab Al-Fara’id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: “Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah”. Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti “Kami diperintahkan..”, “Kami dilarang untuk…”, “Kami terbiasa… jika sedang bersama rasulullah” maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu’.

Hadits Maqtu’ adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi’in (penerus).

Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan : “Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu”.

Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi’in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science of Hadits).

Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati’, Mu’allaq, Mu’dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya.

Ilustrasi sanad :
Pencatat Hadits kepada penutur 4 kepada penutur 3 kepada penutur 2 (tabi’in) kepada penutur 1(Para sahabat) berkata Rasulullah SAW

Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.

Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi’in (penutur2) mengatakan “Rasulullah berkata” tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).

Hadits Munqati’ . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3

Hadits Mu’dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.

Hadits Mu’allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1
(Contoh: “Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan….” tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).

Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.

Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :

o Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
o Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
o Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.

Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da’if dan maudu’

Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Sanadnya bersambung;
2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .

Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.

Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.

Hadits Maudu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.

Jenis-jenis lain
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain :

Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.

Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.

Hadits Mu’allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma’lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu’tal (Hadits sakit atau cacat)

Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan

• Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah

Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya

Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang terpercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.

Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya
Periwayat Hadits
Periwayat Hadits yang harus diterima oleh Muslim
1. Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H)
2. Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H)
3. Sunan Abu Daud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H)
4. Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H)
5. Sunan an-Nasa’i, disusun oleh an-Nasa’i (215-303 H)
6. Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273).
7. Imam Ahmad bin Hambal
8. Imam Malik
9. Ad-Darimi

Periwayat Hadits yang diterima oleh Muslim Syi’ah
Muslim Syi’ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi’ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi’ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang Jamal.
Ada beberapa sekte dalam Syi’ah, tetapi sebagian besar menggunakan:
• Ushul al-Kafi
• Al-Istibshar
• Al-Tahdzib
• Man La Yahduruhu al-Faqih
Pembentukan dan Sejarahnya

Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits.

Masa Pembentukan Al Hadist
Masa pembentukan Hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja.

Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar Al Hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima Al Hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari’at dan ‘aqidah dengan munculnya Al Hadits palsu. Para sahabat dan tabi’in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada Al Hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa Al Hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan Al Hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan Al Hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan Al Hadits marfu’ dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu’.

Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan Al Hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan Hadits dan memisahkan kumpulan Hadits yang termasuk marfu’ (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu’ (berisi prilaku tabi’in). Usaha pembukuan Al Hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Al Hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai Al Hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Al Hadits abad 4 H.

Kitab-kitab Hadits
Berdasarkan masa penghimpunan Al Hadits
Abad ke 2 H
Beberapa kitab yang terkenal :
1. Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
2. Al Musnad oleh As Syafi’i (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
3. Mukhtaliful Hadist oleh As Syafi’i
4. Al Jami’ oleh Abdurrazzaq Ash Shan’ani
5. Mushannaf Syu’bah oleh Syu’bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
6. Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
7. Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa’ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
8. As Sunan Al Auza’i oleh Al Auza’i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
9. As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)

Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para ‘lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa’, Al Musnad dan Mukhtaliful Hadist. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.

Abad ke 3 H
• Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya :
1. Al Jami’ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
2. Al Jami’ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
3. As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
4. As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
5. As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
6. As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
7. As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
Imam Malik imam Ahmad
Abad ke 4 H
1. Al Mu’jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
2. Al Mu’jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
3. Al Mu’jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
4. Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
5. Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
6. At Taqasim wal Anwa’ oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
7. As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
8. Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
9. As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
10. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
Abad ke 5 H dan selanjutnya
Hasil penghimpunan

Bersumber dari kutubus sittah saja
1. Jami’ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
2. Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? - ? H / ? - 1084 M)

Bersumber dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami’ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)

Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami’ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)

Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
1. Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
2. As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
3. Al Imam oleh Ibnul Daqiqil ‘Id (625-702 H / 1228-1302 M)
4. Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? - 652 H / ? - 1254 M)
5. Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
6. ‘Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
7. Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)

Kitab Al Hadits Akhlaq
1. At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
2. Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)

Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadist)
1. Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
2. Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
3. Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu’allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
4. Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
5. Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan’ani (wafat 1099 H / 1687 M)
Mukhtashar (ringkasan)
1. Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
2. Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
• Lain-lain
1. Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa.
2. Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi Al Hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.
Beberapa istilah dalam ilmu hadits
Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain :

Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim

As Sab’ah berarti tujuh perawi yaitu : Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa’i dan Imam Ibnu Majah

As Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut diatas selain Ahmad bin Hambal

Al Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut diatas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim

Al Arba’ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim

Ats Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah

. Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)

wallahu a'lam

Selengkapnya......