Sabtu, 27 Desember 2008

Selintas TAHRIK

Masyarakat muslim terutama yang berpegang kepada madzhab Syafi’i telah mengetahui dan mengamalkan petunjuk dan ajaran para ulama bahwa sunnah ketika mengucapkan Asyhadu allaa ilaaha illallah pada duduk tasyahhud atau tahiyyat untuk mengangkat jari telunjuknya apabila telah sampai pada illallah dalam syahadat dan tidak diturunkan jari telunjuknya sampai mengucapkan salam.

Perlu diketahui yang disunnahkan hanyalah mengangkat jari telunjuknya saja tanpa tahrik (digerak-gerakkan) karena makruh hukumnya. Marilah kita ikuti dalil-dalilnya berikut ini :

Imam Muslim dalam Sohihnya telah diriwayatkan hadist dari Abdullah bin Umar ra.;

“Jika Rasulallah saw. duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya diatas lututnya yang kiri, dan meletakkan tangan kanannya pada lutut yang kanan, seraya membuat (angka) lima puluh tiga sambil berisyarat dengan telunjuknya”. (HR. Imam Muslim dalam Shohih-nya jilid I hal:408).

Yang dimaksud dengan lima puluh tiga dalam hadits itu ialah menggenggam tiga jari (jari tengah, jari manis dan kelingking) itulah angka tiga. Sedangkan jari telunjuk dan ibu jari di julurkan sehingga membentuk semacam lingkaran bundar yang mirip angka lima (angka bahasa arab), dengan demikian menjadilah semacam angka lima puluh tiga.

dan Imam Ahmad dengan menukil satu hadist yang telah diriwayatkan dari Numair Al-Khuzai seorang yang tsiqah dan salah seorang anak dari sahabat katanya ;

“Aku melihat Rasulallah saw. meletakkan dzira’nya [tangan dari siku sampai keujung jari] yang kanan diatas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya dan mem- bengkokkannya [mengelukkannya] sedikit”. (HR.Ahmad jilid III hal:471) dan juga hadist semakna telah dinukil oleh Abu Dawud dalam sunan nya jilid I Hal:260, An-Nasa’i jilid III hal:39 serta Ibn Khuzaimah dalam shohihnya jilid I hal:354)Dalam Ishobah Ibn Hajar telah mensohihkannya pula (silah rujuk Al-Ishabah no.8807), Ibn Hibban dalam As-Shohih jilid V hal:273; Imam Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra jilid II hal:131 serta perawi lainnya.

Adalah hadits yang telah diriwayatkan dari Ibnu Zubair bahwa :

“Rasulallah saw. berisyarat dengan telunjuk dan beliau tidak menggerak-gerakkannya dan pandangan beliau pun tidak melampaui isyaratnya itu” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban). Hadits ini merupakan hadits yang shohih sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jilid III hal:454 dan oleh sayyid Umar Barokat dalam Faidhul Ilaahil Maalik jilid 1 hal:125.

Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Zubair ra. bahwa “Rasulallah saw.berisyarat dengan jarinya (jari telunjuknya) jika berdo’a dan tidak menggerak-gerakkannya”. (HR.Abu ‘Awanah dalam shohihnya jilid II hal:226 ; Abu Dawud jilid I hal:260 ; Imam Nasa’i jilid III hal:38 ; Al-Baihaqi dalam syarh As-Sunnah jilid III hal:178 dengan isnad shohih). Ada pun hadits yang menyebutkan Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) itu tidak kuat (laa tatsbut) dan merupakan riwayat syadz (yang aneh). Karena hadits mengenai tasyahhud dengan mengisyaratkan (menunjukkan) telunjuk itu serta meniadakan tahrik adalah riwayat yang sharih (terang-terangan) dan diriwayatkan oleh sebelas rawi tsiqah dan kesemuanya tidak menyebutkan adanya tahrik tersebut.

Hadits-hadits lainnya yang tidak menyebutkan adanya menggerak-gerakkan jari telunjuk itu menguatkan keterangan dari hadits yang menafikannya. Dari hadits Ibnu Zubair tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa: a). Sunnah mengangkat telunjuk diketika tasyahhud. b) Nabi tidak menggerak-gerakkan telunjuknya dan pandangan Nabi terus tertuju kepada telunjuknya yang sedang berisyarat itu.

Waktu mengangkat jari telunjuk.

Dalam shohih Muslim II:890 meriwayatkan hadits dari Jabir ra. menyebutkan bahwa “Rasulallah saw., bersabda seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”.

Telunjuk disebut juga syahid (saksi), sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia berisyarat dengan telunjuk tersebut. Nabi saw. sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” (suka) berisyarat dengan telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi dalam sohihnya jjilid I hal:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar jilid III hal:51, dengan status hadits shohih.

Imam Baihaqi dalam sunan Baihaqi jilid II hal:133 menyebutkan:

“Rasulallah saw. melakukan itu (mengangkat telunjuknya) ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Mahamulia dan Mahaluhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata-kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat.

Dalam riwayat lain, Imam Baihaqi juga telah menukil dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan redaksi,

“Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah swt.)”, sedangkan ungkapan ketauhidan terdapat dalam kalimat syahadat itu (silah rujuk Sunan Baihaqi jilid II hal:133). Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Mujma’ Al-Zawaid jilid II hal:140, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar…”.

Hal ini juga didasarkan kepada hadits Abdullah bin Umar ra.;

“Dan (beliau saw.) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari lalu berdo’a”. (HR.Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, serta perawi lainnya). Do’a yang dimaksud hadits tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi saw. dan do’a-do’a lainnya sebelum mengucapkan salam.

Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah mengatakan :

Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyarat- kannya pada kata illallah….”.(silah rujuk Syarh As-Sunnah jilid III hal:177)

Berdasarkan hadits-hadits shohih tersebut, disimpulkan bahwa waktu untuk mengangkat dan mengisyaratkan (jari) telunjuk, yaitu ketika mengucapkan kalimat syahadat yakni Asyhadu an laa ilaaha illallah dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam. Para ulama telah melakukan ijtihad dimana tempat yang tepat untuk mengangkat telunjuk pada kalimat syahadat itu. Apakah sejak dimulainya tasyahhud atau ditengah-tengahnya karena di dalam hadits-hadits tersebut tidak ditentukan tempatnya yang tepat.

Adapun menurut madzhab Syafi’i, bahwa tempat mengangkat telunjuk itu sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah illallah, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Zubad karangan Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”.

Menurut madzhab Hanafi, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah diketika Laa ilaaha dan meletak kan telunjuk diketika illallah. Menurut pendapat ini, mengangkat telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian uluhiyyah (ketuhanan) dari yang selain Allah, sedangkan ketika meletakkan telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penetapan uluhiyyah hanya untuk Allah semata.

Menurut madzhab Hanbali, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah disetiap menyebut lafdhul jalalah pada tasyahhud dan do’a sesudah tasyahhud.


MAKRUHNYA TAHRIK

Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, Imam Bajuri telah menyebutkan dalam Hasyiahnya :

“Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuk- nya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan (silah rujuk Hasiyah al-Bajuri jilid 1 hal:220)

Sedangkan menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu' sbb ;

adalah menurut satu pendapat; batal sholat seseorang apabila dia meng- gerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut dimana pendapat ini bersumber dai Ibnu Ali bin Abi Hurairah (silah rujuk Al-Majmu’ jilid III hal:454). Dan yang jelas bahwa khilaf [perbeda- an) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.

Imam Nawawi sendiri telah berfatwa atas hal ini dalam Al-Fatawa-nya dan juga beliau (Nawawi) tuliskan dalam Al-Majmu' sbb :

"menyatakan ia (Imam Nawawi) akan kemakruhannya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan kekhusyuan. (silah rujuk Al-Fatawahalaman hal:54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya jilid III hal:454)

Begitu pula As-syeikh Bujairimi dalam Minhaj-nya, menyatakan :

“Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitu pula telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk. Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Diantara yang mendorong Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut keberada- annya didalam sholat”.(silah rujuk Bujairimi Minhaj jilid 1 hal:218)

Hal senada telah pula dinyatakan oleh Imam Haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj sbb :

“Tidak boleh mentahrik jari telunjuk diketika mengangkatnya karena ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.(silah rujuk Tuhfatul Muhtaj jilid II hal:80)

Selanjutnya As-Syeikh Jalalluddin dalam Mahalli telah pula menyatakan :

“Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan; ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafikan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.(silah rujuk Al-Mahalli jilid 1 hal:164)

Dalam kitab Imam Syarqowi telah pula dinyatakan :

“Mengangkat telunjuk itu adalah dengan tanpa tahrik. Telah datang pula hadits yang menunjuk adanya tahrik. Namun dalam kasus ini yang menafikan didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (bahwa yang menetapkan didahulu- kan dari yang menafikan). Hal ini karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu yakni; ‘Bahwa yang dituntut dalam sholat adalah tidak bergerak karena bergerak-gerak dapat menghilangkan kekhusyu’an dan juga tahrik itu adalah sejenis perbuatan yang tidak ada gunanya dan sholat haruslah terpelihara dari hal tersebut selama itu memungkinkan. Oleh karena itu ada pendapat yang membatalkan shalat karena melakukan tahrik walau pun pendapat ini dho’if" (silah rujuk Syarqawi jilid 1 hal:210)

Wallahu a'lam

Selengkapnya......

Kamis, 25 Desember 2008

WAJIBNYA Membaca "Bismillah"

Setiap orang yang melakukan sholat diwajibkan membaca Basmalah pada awal surat Al-Fatihah karena basmalah merupakan ayat pertama darinya. Hal tersebut didasarkan pada hadits shohih dan kuat dari Rasulallah saw..
Antara lain yang dikemukakan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Rasulalallah saw. bersabda:

“Jika kamu sekalian membaca Alhamdulillah, maka bacalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Sesungguhnya Al-Fatihah itu Ummu Al- qur’an (induk Alqur’an), Ummul-Kitab (induk Kitab), As-Sab’ Al-Matsani dan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Adalah salah satu ayatnya”. (HR.Daruquth- ny dalam Musnadnya jilid I hal:312), Imam Baihaqi jilid II hal:45) dan lain-lainnya dengan sanand shohih baik secara marfu’ mau pun secara mauquf).

Al-Hafidz Ibn Hajar Asyqolaniy dalam Fathl nya telah pulsa menukil hadist yang telah diriwayatkan oleh Al-imam At-Thabarani dengan sanad Hasan sbb ;

Ibnu ‘Abbas ra. meriwayatkan bahwa dia membaca Al-Fatihah, lalu membaca wa-laqad atainaaka sab’an min al-matsaaniya wal Qur’anal ‘Adhiim. Lalu dia berkata, “Itulah Fatihat al-Kitab (Pembuka Al-Kitab/Alqur’an) dan Bismillahir Rahmaanir Rahiim adalah ayat yang ketujuh” (silah rujuk Fath Bari jilid VIII hal:382)

kemudian Imam Hakim telah pula menukil satu hadist dengan Sanad Sohih dalam Mustadraknya, Imam Abu Dawud dalam Sunan nya sbb ;

"Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa, “Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalamn sholat, dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”. (HR.Abu Dawud) (silah rujuk as-Sunan jilid IV hal:37 dan Mustadrak 'ala Sohihain, jilid II hal:231)

dari beberapa hadist ini pulalah Imam Ishak telah menghukumkan kepada "Batal" sholat seseorang yang meninggalkan Al-Fatihah, beliau telah menyatakan sbb;

“Siapa yang meninggalkan ba’, atau sin, atau mim dari basmalah, maka sholatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (silah rujuk Ad-Dzahabi lisSayr A’lam Al-Nubmala’ jilid XI hal:369).

MenZaharkan Bismillah

Berikut akan kita ikut dalil-dalil dari diZaharkannya Lafadz "Bismillah"

Hadist ini telah diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyfnya dan Al-Baihaqi dalam sunannya, sbb;

"Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah ra serta yang lainnya: “ Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. menjaharkan (bacaan) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”. (silah rujuk Kasyf Al-Atsar jilid I hal:255, As-Sunan Al-Kubra jilid II hal:47 dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar jilidII hal:308)

Adapun komentar Imam Al-Haitsami dalam Majmu'nya atas hadist tersebut adalah sbb;
"hadits tersebut di riwayatkan oleh Al-Bazzar dan rijal-nya mautsuuquun (terpercaya)" (silah rujuk Al-Majma'u Al-Zawaid jilid II hal:109)

sedangkan Al-Daraquthni dalam kitabnya menyatakan pula :
"telah meriwayatkan dalam berbagai macam isnad siapa pun yang menemukannya tidak akan meragukan keshohihannya. (silah rujuk At-Tanaqudhat jilid III hal : 309) .

Hadits yang semakna telah pula datang dari Abu Hurairah ra dan telah diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam Al-Mustadrak-nya jilid I hal:232 dan perawi lainnya dengan status shohih.

Namun dalam Talkishnya Al-Dzahabi telah memasukkan Hadist tersebut dengan status Dhoif, dengan menyatakan bahwa si rawi yaitu ‘Muhammad itu dhaif’, dimana yang di maksud oleh Al-Dzahabi adalah Muhammad bin Qais, padahal tidak demikian. Muhammad bin Qais sebetulnya orang baik dan terpercaya, Ia termasuk rijal (sanad) Imam Muslim sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib jilid IX hal:367. Dimana beliau (Imam Muslim) telah menyatakan bahwa Muhammad bin Qais diakui mautsuuq oleh Ya’qub bin Sufyan Al-Fusawi dan Abu Dawud, Al-Hafidh pun mengakui hal itu juga dalam At-Taqrib-nya).

ini dikuatkan kembali oleh Imam Bukhori dalam Sohihnya yang kemudian diSyarh oleh Al-Hafidz dalam Fathl Barinya, bahwa ;

Abu Hurairah ra. berkata: “Pada setiap sholat dibaca (Al-Fatihah dan surah—Red.). Apa yang yang beliau perdengarkan (jaharkan) maka kami pun memper- dengarkannya (menjaharkannya), dan apa yang beliau samarkan (lirihkan), maka kami pun menyamarkannya (melirihkannya)…”. (silah rujuk shohih Bukhori jilid II hal:251 dan dalam Al-Fath al-Bari)

Adapun perkataan orang yang menyebutkan bahwa Rasulallah saw. kadang-kadang melirihkan dan kadang-kadang menjaharkan (bacaan basmalah), itu tidak benar. Karena mereka juga berdalil dengan hadits-hadits mu’allal yang ditolak. Bahkan sebagiannya hanya disimpulkan dari hasil pemahaman (al-mafhum) yang berlawanan dengan hadits al-manthuq, yang jelas menyatakan adanya menjahar bacaan basmalah. Sedangkan yang manthuq itu harus didahulukan atas yang mafhum, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.

Kemudian Imam Nasa’i telah menukil satu Hadits dalam Sunan nya sbb;

"Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-Mujmir seorang Imam, Faqih, terpercaya termasuk periwayat hadits Shohih Enam sempat bergaul dengan Abu Hurairah ra. selama 20 tahun : “Aku melakukan sholat dibelakang Abu Hurairah ra., maka dia membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim lalu dia membaca Ummu Alqur’an hingga sampai kepada Wa laadh dhaalliin kemudian dia mengatakan amin. Dan orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan Allahu Akbar. Dan apabila bangun dari duduk dia meng ucapkan Allahu Akbar. Dan jika bersalam (mengucapkan assalamu‘alaikum). Dia kemudian mengatakan, ‘Demi Tuhan yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah saw.  daripada kalian”.(silah rujuk Sunan Al-Kubra jilid II hal:134)

Imam Bukhori mengisyaratkannya hadits tersebut dalam shohihnya pada jilid II hal:266 dalam Al-Fath, kemudian Ibnu Hibban telah menguatkan pula dalam shohihnya jilid V hal:100, Ibn Khuzaimah dalam shohihnya jilid I hal:251

Imam Baihaqi dalam As-Sunan jilid II hal:58 dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar jilid II hal:371 telah menyatakan bahwa isnad hadist itu adalah shohih. Dan hadits itu dishohihkan oleh sejumlah para penghafal hadits seperti Imam Nawawi, Ibn Hajar dalam Al-Fath jilid II hal:267, bahkan dia mengatakan bahwa Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah hadits yang paling shohih mengenai hal tersebut.

ini dikuatkan kembali oleh Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Al-Fath dan telah menetapkan untuk menggunakan hadits yang menetapkan adanya jahar dalam membaca basmalah. Selanjutnya dia mengatakan, ‘Maka jelaslah (benarnya) hadits yang menetapkan adanya jahar dengan basmalah’.(silah rujuk Fathl Bari jilid II hal:229)

Selanjutnya pula dalam Shohih Bukhori jilid IX hal:91 dalam Al-Fath telah disebutkan bahwa Anas bin Malik ra. pernah di tanya mengenai bacaan Nabi Muhammad saw.. Dia men-jawab:
“Bacaan Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar-Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.

Sedangkan hadits Anas ra. yang antara lain mengatakan:
“Aku melakukan shalat dibelakang Nabi Muhammad saw., Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Mereka membuka (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shohih-nya jilid I hal:299 no.50 dan 52].

Hadits tersebut mu’allal yaitu hadits yang mempunyai banyak ‘ilat atau yang menurunkannya dari derajat shohih. Diantara ‘ilat atau penyakit yang melemahkan derajat hadits itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadits tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’. Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadits) Anas, tetapi hanya perkataan salah seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.

Pendapat ini dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah ra., disebutkan bahwa Rasulallah saw. bersabda,
”Alhamdulillah rabbil ‘aalamiin sab’u ayah ihdaa- hunna Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, wa hiya as-sab’u al-matsaani wa al-Quraani al-‘adhiim, wa hiya Ummu Al-Qur’an wa Fatihat Al-Kitaab, (Al-Fatihah itu tujuh ayat, salah satunya adalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Itulah tujuh (ayat) yang diulang-ulang Al-qur’an yang agung dan itulah induk Alqur’an dan Fatihat (Pembuka) Al-Kitab (Alqur’an)”. (silah rujuk Al-Mujma’ jilidII hal:109) selanjutnya Al-Haitsami mengatakan bahwa, “Hadits tersebut diriwayatkan Imam Thabarani dalam Al-Ausath, rijal-nya tsiqat”.

Dari keterangan itu semua dapat ditetapkan ada empat indikasi mengenai ke- lemahan hadits Anas ra diatas tersebut:

a). Hadits yang shohih dan tsabit (kuat) yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Anas berlawanan dengan hadits tersebut. Dalam hadits itu disebutkan, “Baca- an Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.

b). Semua Hafidh pakar penghafal hadits yang menulis dalam Mushthalah Hadits dan mengarang mengenai hadits, menyebutkan hadits Anas tersebut sebagai contoh hadits mu’allal yang meniadakan menjahar basmalah dalam Al-Fatihah itu

c). Hadits Anas tersebut, disamping mu’allal, bersifat meniadakan, sedangkan hadits Anas yang lainnya beserta hadits-hadits lain dari para sahabat menetapkan (istbat) adanya jahar dalam membaca basmalah. Padahal seperti yang di tetapkan dalam ilmu ushul fiqh ialah Yang menetapkan (al-mutsbit) itu harus didahulukan daripada yang meniadakan, apalagi yang meniadakan itu masih mengandung ‘ilat (berupa hadits mu’allal). Menjam’u (mengkompromikan) pun tidak bisa dilakukan.

d) Diriwayatkan secara kuat dan benar, bahwa para sahabat yang empat -radhiyallahu ‘anhum- khususnya khalifah Umar dan khalifah ‘Ali semuanya menjaharkan bacaan basmalah dalam Al-Fatihah (silah rujuk Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar jilid II hal:372 dan 378).

Wallahu a’lam.

(Dinukil dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. oleh Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf [Syeikh Saqqaf, Jordania] cet. pertama, 1993 hal.107 s/d hal.111)

Selengkapnya......

KEJAHILAN SUKA MEMVONIS

Pada akhir-akhir ini sebagian golongan umat Islam yang mengklaim dirinya telah menjalankan syari’at (agama) paling benar, paling murni, pengikut para Salaf Sholeh dan menuduh serta melontarkan kritik tajam sebagai perbuatan sesat dan syirik kepada sesama muslim, bahkan sampai berani mengkafir- kannya, hanya karena perbedaan pendapat dengan melakukan ritual-ritual Islam seperti ziarah kubur, berkumpul membaca tahlilan/yasinan untuk kaum muslimin yang telah meninggal, berdo’a sambil tawassul kepada Nabi saw. dan para waliyyullah/sholihin, mengadakan peringatan keagamaan diantaranya maulidin/kelahiran Nabi saw., pembacaan Istighotsah, dan sebagainya. Bahkan ada yang sampai berani mengatakan bahwa pada majlis-majlis peringatan keagamaan tersebut adalah perbuatan mungkar karena didalamnya terdapat, minuman khamar (alkohol), mengisap ganja dan perbuatan-perbuatan munkar lainnya. Golongan yang sering mengata- kan dirinya paling benar itu tidak segan-segan menuduh orang dengan fasiq, sesat, kafir, bid’ah dholalah, tahrif Al-Qur'an (merubah al-Qur’an) dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. La haula walaa quwwata illah billahi. Ini fitnahan yang amat keji dan membuat perpecahan antara sesama muslim.


Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
Katakanlah (hai Muhammad): Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84) “

فَلاَ تُزَكُّوا أنْفُسَكُم هُوَ أعْلَمُ بِمَن اثَّـقَى

“….janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia (Allah) lebih mengetahui siapa yang bertaqwa.” (An-Najm : 32)

Segala puji bagi Allah seru sekalian alam, shalawat dan salam terlimpah atas penghulu manusia, yang terdahulu dan yang terakhir, yakni junjungan kita Nabi Muhammad saw., juga atas segenap keluarganya yang suci sampai hari kemudian.

Alasan yang sering mereka katakan bahwa semuanya ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulallah saw., atau para sahabat, dengan mengambil dalil hadits-hadits dan ayat-ayat Al Qur’an yang menurut paham mereka bersangkutan dengan amalan-amalan tersebut. Padahal ayat-ayat ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang mereka sebutkan tersebut ditujukan untuk orang-orang kafir dan orang-orang yang membantah, merubah dan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya.

Golongan pengingkar ini sering mengatakan hadits-hadits mengenai suatu amalan yang bertentangan dengan pahamnya itu semuanya tidak ada, palsu, lemah, terputus dan lain sebagainya, walaupun hadits-hadits tersebut telah dishohihkan oleh ulama-ulama pakar hadits.

Begitu juga bila ada ayat Ilahi dan hadits yang maknanya sudah jelas tidak perlu ditafsirkan lagi serta makna ini disepakati oleh ulama-ulama pakar dan sebagian ulama dari golongan pengingkar ini sendiri, mereka dengan sekuat tenaga akan merubah makna ayat dan hadits ini bila berlawanan dengan paham golongan ini sampai sesuai/sependapat dengan pahamnya. Disamping itu golongan pengingkar ini akan mentakwil (menggeser arti) omongan ulama mereka yang menyetujui arti dari ayat ilahi dan hadits itu sampai sesuai dengan paham mereka. Oleh karenanya banyak ulama pakar hadits dari berbagai madzhab mencela dan mengeritik kesalahan golongan pengingkar yang sudah jelas itu. Para pembaca bisa meneliti dan menilai sendiri nantinya apa yang tercantum dalam buku dihadapan anda ini.

Kita semua tahu bahwa firman Allah swt. (Alqur’an) yang diturunkan pada Rasulallah saw. itu sudah lengkap tidak satupun yang ketinggalan dan dirubah. Bila ada orang yang mengatakan bahwa kalimat-kalimat/tekts yang tertulis didalam Alqur’an telah dirubah dan lain sebagainya, omongan seperti ini harus diteliti dan diselidiki apakah omongan ini bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Begitu juga dalam ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah mengenai masalah haram atau halal telah diterangkan dengan jelas. Bila tidak ada keterangan yang jelas untuk suatu masalah, para ulama akan menilai dan meneliti amalan itu, apakah sejalan dan tidak bertentangan dengan syari’at yang telah digariskan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya.

Bila amalan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at, malah sebaliknya banyak hikmah dan manfaat bagi ummat muslimin khususnya, maka para ulama ini tidak akan mengharamkan amalan tersebut. Karena mengharam- kan atau menghalalkan suatu amalan harus mengemukakan nash-nash yang khusus untuk masalah itu. Apalagi amalan-amalan dzikir yang masih ada dalilnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang semuanya mengingatkan kita kepada Allah swt. dan Rasul-Nya serta bernafaskan tauhid, umpamanya, kumpulan/majlis dzikir (tahlilan, istighotsah, peringatan keagamaan ..), ziarah kubur, bertawasul dalam do’a, bertabarruk dan lain sebagainya, tidak ada alasan orang untuk mengharamkannya. Jadi dalil-dalil yang mereka sebutkan untuk melarang amalan-amalan yang dikemukakan tadi, itu tidaklah tepat, karena hal itu termasuk kategori dzikir kepada Allah swt. dan merupakan perbuatan kebaikan. Dan semua perbuatan baik dengan cara apapun asal tidak melanggar dan menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya yang telah digariskan malah dianjurkan oleh agama.

Yang lebih mengherankan, para ulama golongan pengingkar amalan-amalan tadi, berani menvonis bahwa amalan-amalan itu bid’ah munkar, sesat, syirik dan lain sebagainya. Kalau seorang ulama sudah berani memfitnah seperti itu, apalagi orang-orang awam yang membaca tulisan tersebut justru lebih berbahaya lagi, karena mereka hanya menerima dan mengikuti tanpa tahu dan berpikir panjang mengenai kata-kata ulama tersebut.

Perbedaan pendapat antara kaum muslimin itu selalu ada, tetapi bukan untuk dipertentangkan dan dipertajam dengan saling mensesatkan dan mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Pokok perbedaan pendapat soal-soal sunnah, nafilah yang dibolehkan ini hendaknya dimusyawarahkan oleh para ulama kedua belah pihak. Karena masing-masing pihak sama-sama berpedoman pada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulallah saw. (hadits), namun berbeda dalam hal penafsiran dan penguraiannya (sudut pandang mereka).

Janganlah setelah menafsirkan dan menguraikan ayat-ayat Allah dan hadits Nabi saw. mengecam dan menyalahkan atau berani mensesatkan/meng- kafirkan kaum muslimin dan para ulama dalam suatu perbuatan karena tidak sepaham dengan madzhabnya. Orang seperti ini sangatlah fanatik dan extreem yang menganggap dirinya paling benar dan faham sekali akan dalil-dalil syari’at, menganggap kaum muslimin dan para ulama yang tidak sependapat dengan mereka, adalah sesat, bodoh dan lain sebagainya. Kami berlindung pada Allah swt., dalam hal tersebut. Allah Maha Mengetahui hamba-Nya yang benar jalan hidupnya. Ingat firman Allah swt. diatas (Al-Isra’[17] : 84 dan An Najm [53] : 32).

Kita boleh mengeritik atau menyalahkan suatu golongan muslimin, bila golongan ini sudah jelas benar-benar menyalahi dan keluar dari garis-garis syari’at Islam. Umpama mereka meniadakan kewajiban sholat setiap hari, menghalalkan minum alkohol, makan babi dan lain sebagainya, yang mana hal ini sudah jelas dalam nash bahwa sholat itu wajib dan minum alkohol dan makan babi itu haram. Jadi bukan mensesatkan, mengkafirkan amalan-amalan sunnah yang baik, seperti berkumpulnya orang untuk berdzikir bersama pada Allah swt. ( pembacaan istighothah, yasinan, tahlilan, ziarah kubur dan lain sebagainya), apalagi sampai-sampai menghalalkan darah mereka karena tidak sependapat dengan golongan tersebut, ‘Audzubillahi.

Begitu juga kita boleh mengeritik/mensalahkan suatu golongan muslimin yang meriwayatkan hadits tentang tajsim/penjasmanian atau penyerupaan/ tasybih Allah swt. sebagai makhluk-Nya (Umpama; Allah mempunyai tangan, kaki, wajah secara hakiki atau arti yang sesungguhnya), karena semua ini tidak dibenarkan oleh ulama-ulama pakar Islam karena hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah swt. yang mengatakan tidak ada sesuatu- pun yang menyerupai-Nya dan sebagainya, baca surat Asy-Syuura [42] : 11: surat Al-An’aam [6] : 103; dan surat Ash-Shaffaat [37] : 159 dan lain-lain. Dengan demikian perbedaan pendapat antara golongan muslimin yang sudah jelas dan tegas melanggar syari’at Islam, inilah yang harus diselesai- kan dengan baik antara para ulama setiap golongan tersebut. Jadi bukan dengan cara tuduh menuduh, cela-mencela antara setiap kaum muslimin.

Kami ambil satu contoh: “Pengalaman seorang pelajar di kota Makkah berceritera bahwa ada seorang ulama tunanetra yang suka menyalahkan dan juga mengenyampingkan ulama-ulama lain yang tidak sepaham dengan nya mendatangi seorang ulama yang berpendapat tentang jaiznya/boleh- nya melakukan takwil (penggeseran arti) terhadap ayat-ayat mutasyabihat/ samar seperti ayat: Yadullah fauqo aidiihim (tangan Allah diatas tangan mereka), Tajri bi a’yunina ( [kapal] itu berlayar dengan mata Kami) dan lain sebagainya. Ulama yang membolehkan ta’wil itu berpendapat bahwa kata tangan pada ayat itu berarti kekuasaan (jadi bukan berarti tangan Allah swt secara hakiki/sebenarnya) sedangkan kata mata pada ayat ini berarti pengawasan.

Ulama tunanetra yang memang tidak setuju dengan kebolehan menakwil ayat-ayat mutasyabihat diatas itu langsung membantah dan mengajukan argumentasi dengan cara yang tidak sopan dan menuduh pelakuan takwil sama artinya dengan melakukan tahrif (perubahan) terhadap ayat Al-Qur’an. Ulama yang membolehkan takwil itu setelah didamprat habis-habisan dengan tenang memberi komentar: “Kalau Uaya tidak boleh takwil, maka anda akan buta di akhirat”. Ulama tunanetra itu bertanya: “Mengapa anda mengatakan demikian?”. Dijawab : Bukankah dalam surat al–Isra’ ayat 72 Allah swt berfirman: “Barangsiapa buta didunia, maka di akhirat pun dia akan buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar”.

Kalau saya tidak boleh takwil, maka buta pada ayat ini pasti diartikan dengan buta mata dan tentunya nasib anda nanti akan sangat menyedihkan yakni buta diakhirat karena didunia ini anda telah buta mata (tunanetra). Karena- nya bersyukurlah dan hargai pendapat orang-orang yang membolehkan takwil sehingga kalimat buta pada ayat diatas menurut mereka diartikan dengan: buta hatinya jadi bukan arti sesungguhnya yaitu buta matanya. Ulama yang tunanetra itu akhirnya diam membisu, tidak memberikan tanggapan apa-apa".

Banyak sekali ayat-ayat Ilahi dan perintah Rasulallah saw. agar kita bersangka baik dan tidak mengkafirkan antara sesama muslim, bila ada perbedaan dengan mereka alangkah baiknya jika diselesaikan dengan ber- dialog !

Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125 : ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Sebagai ummat yang terbaik, kita tentu tidak ingin tercerai berai hanya lantaran berbeda pandangan dalam beberapa masalah yang tidak prinsipil. Kalau kita teliti lebih dalam ajaran-ajaran Islam, maka kita akan temukan persamaan diantara golongan masih jauh lebih banyak daripada perbedaan dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam tersebut. Tapi kenyataan yang terjadi justru perbedaan yang tidak banyak itulah yang sering diperuncing dan ditampakkan sementara persamaan yang ada malah disembunyikan.

Jika perkumpulan (majlis) dzikir dan peringatan keagamaan dilarang, tidak disenangi dan dianggap sebagai perbuatan bid’ah dholalah (sesat), bagai mana dengan majlis yang tanpa di-iringi dengan dzikrullah dan shalawat pada Nabi saw. seperti berkumpulnya kaum muslimin disuatu tempat hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja ?

Mari kita perhatikan hadits-hadits Nabi saw. berikut ini :

Rasulallah saw. bersabda: “Lan yadkhula ahadan minkum ‘amaluhul jannata qooluu wa laa anta yang Rasulallah, qoola wa laa anaa illaa an yataghom- madaniyallahu bi fadhlin minhu wa rohmatin”

Artinya: “Tidak ada seorangpun diantara kamu yang akan masuk surga lantaran amal ibadahnya. Para sahabat bertanya: ‘Engkau juga tidak wahai Rasulallah?’ Nabi menjawab: ‘Saya juga tidak, kecuali kalau Allah melimpah kan kepadaku karunia dan rahmat kasih sayang-Nya’ ”. (HR. Muslim)

Juga sabda Nabi saw dalam hadits yang lain:

“Ayyuhan Naas ufsyuu as salaama wa ath’imuu ath tho’aama wa shiluu al arhaama wa sholluu bil laili wan naasu niyaamu tadkhuluu al jannata bi salaamin”

Artinya:“Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambungkanlah hubungan persaudaraan dan dirikanlah sholat ditengah malam niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh keselamatan”.

Memahami hadits diatas ini maka kita akan seharusnya bertanya; ‘Apakah mungkin karunia dan rahmat kasih sayang Allah swt. akan dilimpahkan kepada kita sementara perbedaan yang kecil dalam masalah ibadah sunnah senantiasa kita perbesar dengan saling mengejek, mengolok-olok, men- fitnah, mensesatkan, saling melukai bahkan saling bunuh….?’

Kunci untuk masuk surga tidaklah cukup dengan hanya melakukan shalat tengah malam saja, tapi harus ada upaya untuk menyebarkan salam, memberi bantuan dan menyambung tali persaudaraan. Tanpa adanya tiga upaya ini, maka sebagian kunci surga kita telah terbuang. Bukankah perbedaan paham disikapi dengan saling sesat menyesatkan satu sama lain, sudah tentu, akan mengakibatkan munculnya permusuhan, membikin kesulit an dan memutuskan tali persaudaraan. Menuduh, mengolok-ngolok kaum muslimin dengan tuduhan dan memberi gelar yang sangat buruk seperti bid’ah dholalah, laknat atau syirik ini sama dengan ‘kufur’.

Kalau memang dakwah golongan yang suka mengolok-olok ini senantiasa berdasarkan Al-Qur’an, mengapa mereka melanggar tuntunan Al-Qur’an dalam surat Al-Hujurat ayat 11 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah satu kelompok mengolok olok kelompok yang lain karena bisa jadi mereka yang diolok-olok itu justru lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Janganlah pula sekelompok wanita mengolok-olok kelompok wanita yang lain karena bisa jadi kelompok wanita yang diolok-olok justru lebih baik dari kelompok wanita yang mengolok-olok. Janganlah kalian mencela sesamamu dan janganlah pula kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jelek sebutan sesudah beriman adalah sebutan ‘fasiq’. Karenanya siapa yang tidak bertobat (dari semua itu), maka merekalah orang-orang yang dzalim”.

Begitu juga kalau dakwah golongan tersebut senantiasa berdasarkan kepada hadits Nabi saw yang shahih, lalu mengapa mereka melanggar beberapa hadits shahih diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim:

“Almu’minu lil mu’mini kal bunyaana ya syuddu ba’dhohu ba’dhan”

Artinya: “Seorang mukmin itu terhadap mukmin yang lain adalah laksana bangunan, yang sebagiannya mengokohkan sebagian yang lain”

Hadits lainnya riwayat Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar:

اِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأِخِهِ: يَا كَافِرُ! فَقَدْ بَاءَ بِهَا أحَدُهُمَا فَاِنْ كَانَ
كَمَا قَالَ وَاِلَى رَجَعَتْ عَلَيْـهِ.

Artinya: “Barangsiapa yang berkata pada saudaranya ‘hai kafir’ kata-kata itu akan kembali pada salah satu diantara keduanya. Jika tidak (artinya yang dituduh tidak demikian) maka kata itu kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)”.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhori :

“Man syahida an Laa ilaha illallahu was taqbala giblatanaa wa shollaa sholaatana wa akala dzabiihatanaa fa hua al muslimu lahu lil muslimi ‘alaihi maa ‘alal muslimi”

Artinya: “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, menganut kiblat kita (ka’bah), shalat sebagaimana shalat kita, dan memakan daging sembelih an sebagaimana sembelihan kita, maka dialah orang Islam. Ia mempunyai hak sebagaimana orang-orang Islam lainnya. Dan ia mem- punyai kewajiban sebagaimana orang Islam lainnya”.

Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintah kan:

كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.

“Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan: “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.

Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasul- Allah saw

وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)

“Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.

Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:

وَعَنْ عِتْبَانَ ابْنِ مَالِكٍ (ر) فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ الْمَشْهُوْرِ الَّذِي تَقَدََّّمِ فِي بَابِ الرََََََََّجََاءِ قَالَ : قَامَ النَّبِيّ .صَ. يُصَلِّّي فَقَالَ: اَيْنَ مَالِكُُ بْنُ الدُّخْشُمِ ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَلاَ رَسُولَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ. : لاَتَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَاِنَّ اللهَ قدْ حَرَّمَ عَلَي النَّاِر مَنْ قَالَ : لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَالِكَ وَجْهَ الله (رواه البخاري و مسلم)

“Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: ‘Dimanakah Malik bin Adduch-syum’? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: ‘Jangan berkata demikian, tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahailallah’ dengan ikhlas karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucap kan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena Allah’ ”.

Dari Zaid bin Cholid Aljuhany ra berkata: Rasulallah saw. bersabda;

عَنْ زَيْدِ أبْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيَّّ(ر) قاَلَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ .صَ . لاَ تَسُبُّوْا

الدِّيْكَ فَأِنَّهُ يُوْقِظُ لِلصَّلاَةِ (رواه أيو داود)

“Jangan kamu memaki ayam jantan karena ia membangunkan untuk sembahyang”. (HR.Abu Daud).

Binatang yang dapat mengingatkan manusia untuk sholat shubuh yaitu berkokoknya ayam jago pada waktu fajar telah tiba itu tidak boleh kita maki/ cela, bagaimana dengan orang yang suka mencela, mensesatkan saudara- nya yang mengadakan majlis dzikir (peringatan maulidin nabi, pembacaan Istighotsah dan sebagainya) yang disana selalu didengungkan kalimat-kalimat ilahi, sholawat pada Nabi saw.. serta pujian-pujian pada Allah swt. dan Rasul-Nya yang semuanya ini tidak lain bertujuan untuk mengingatkan serta mendekatkan diri pada Allah swt. agar menjadi hamba yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya? Pikirkanlah !

Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah ra telah mendengar Rasulallah saw. bersabda :

وَعَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) أنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ.صَ. يَقُوْلُ: أِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا أِلَى النَّارِ اَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ (رواه البخاري ومسلم)

“Sungguh adakalanya seorang hamba berbicara sepatah kata yang tidak diperhatikan, tiba-tiba ia tergelincir ke dalam neraka oleh kalimat itu lebih jauh dari jarak antara timur dengan barat". (HR.Bukhori dan Muslim)

Memahami hadits ini kita disuruh hati-hati untuk berbicara, karena sepatah kata yang tidak kita perhatikan bisa menjerumuskan kedalam api neraka. Nah kita tanyakan lagi, bagaimana halnya dengan seseorang yang sering mensesatkan golongan muslimin yang selalu mengadakan majlis dzikir, peringatan-peringatan agama yang didalam majlis-majlis tersebut selalu dikumandangkan tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan lain sebagainya ? Pikirkanlah !

Didalam surat An-Nisaa [4]: 94 artinya;
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu ‘Kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya).. sampai akhir ayat.”

Lihat ayat ini dalam waktu perang pun kita tidak boleh menuduh atau mengucapkan pada orang yang memberi salam (dimaksud juga orang yang mengucapkan Lailaaha illallah) sebagai bukan orang mukmin sehingga kita membunuhnya.

Masih banyak riwayat yang melarang orang mencela, mengkafirkan sesama muslimin yang tidak dikemukakan disini. Jelas buat kita dengan adanya ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulallah saw. diatas, kita bisa bandingkan sendiri bagaimana tercelanya orang yang suka menuduh sesat, kafir, syirik terhadap sesama musliminnya yang senang melakukan amalan-amalan kebaikan (diantaranya dzikir bersama, tahlilan, memperingati hari lahir Nabi saw. dan sebagainya) disebabkan mereka tidak sefaham atau sependapat dengan orang ini ? Begitu juga orang yang mencela, mensesatkan satu madzhab karena tidak sepaham dengan madzhabnya.

Sebab tuduhan ini sangat berbahaya. Nabi saw. menyuruh agar kita harus berhati-hati dan tidak sembarangan untuk berbicara, yang mana ucapan itu bisa mengantarkan kita keneraka. Malah perintah Allah swt. (dalam surat Toha ayat 43-44) kepada Nabi Musa dan Harun -‘alaihimassalam- agar mereka pergi keraja Fir’aun yang sudah jelas kafir dan melampaui batas untuk mengucapkan kata-kata yang lunak/halus terhadapnya, barangkali dia (Fir’aun) bisa sadar/ingat kembali dan takut pada Allah swt. Untuk orang kafir (Fir’aun) saja harus berkata halus apalagi sesama muslim.

Wallahu a'lam.

Selengkapnya......

Rabu, 01 Oktober 2008

ASSALAFIYAH ALWAHHABIYAH

Sesungguhnya aliran pemikiran salafiah memainkan peranan penting dalam mesyarakat Islam sekarang, sebagaimana dakwah salafiah memberi kesan yang kuat dalam hati orang-orang Islam. Ini kerana orang-orang Islam yang beriman merasa tertarik kepada asas-asas akidah yang murni ini kerana kemurnianlah yang menjadi satu-satunya asas yang patut dijadikan landasan bagi mana-mana akidah yang diinginkan kekal sepanjang masa.
Memandangkan salafiah menyeru supaya umat Islam kembali kepada asas-asas yang murni maka dengan sendirinya orang-orang Islam sekarang mendapati dirinya sebagai salafi. Dalam keadaan yang sukar ini orang-orang Islam berusaha mencari identitinya


Dalam kesesatan ini mereka tidak tahu arah mana mereka harus tujui, salafiah mendakwa menyediakan penunjuk jalan bagi yang sesat. Penunjuk jalan ini ialah kembali kepada asas agama yang murni. Memandangkan mustahil bagi seseorang Islam menemui identitinya di luar lingkungan akidah, pada waktu yang sama dia juga tidak dapat menemui peribadinya jika dia terumbang ambing di antara panduan-panduan akidah yang luas, maka mahu tidak mahu dia terpaksa menerima pemikiran ini, iaitu kembali kepada asas yang murni sekalipun dia tidak tahu jalan-jalan menuju ke arah itu. Inilah keadaan salafiah yang terngiang-ngiang di telinganya dengan kata-kata kamu mesti kembali ke asal usul akidah dan agamamu yang murni. Dari sini kita dapati seorang Islam itu adalah salafi dengan sendirinya mahu atau tidak mahu dia merasa tertarik dan sesuai dengan

fitrahnya, kerana mustahil untuk mendapat identitinya di luar lingkungan ini. Kalau begini halnya apakah salafiah itu? Adakah di sana lebih dari satu aliran dakwah salafiah?
Inilah yang kami akan bincangkan dalam pendahuluan sebelum kita membincangkan tajuk-tajuk pokok dalam kajian ini, Memandangkan tajuk yang kami pilih “Salafiah Wahabiyah di Antara Pro dan Kontra” maka wajiblah kita hilangkan kekaburan yang meliputi perkataan “Salafiah” iaitu satu perkataan yang dikelilingi kekaburan dari segala segi. Tajuk ini adalah luas barangkali saya tidak layak untuk menulis mengenai tajuk ini sekarang, tetapi saya masih terus memikirkannya. Akhirnya saya putuskan untuk menulis mengenai salah satu aliran dakwah salafiah, dengan memilih gerakan salafiah yang diasaskan oleh Sheikh Muhammad Abdul Wahhab di pertengahan kurun 12H. Kemudian saya dapati banyak kajian-kajian yang telah dibuat mengenainya, tetapi kebanyakannya sama ada pro atau kontra, sangat susah untuk mendapatkan kajian yang betul-betul neutral dalam hal ini. Dari sinilah saya melihat supaya kajian ini diberikan tajuk bukan sahaja Salafiah Wahabiah tetapi “Salafiah Wahabiah: Pro dan Kontra”. Memandangkan dakwah ini mempunyai penyokong dan penentang yang ramai maka sesuailah saya melihatnya daripada kedua aliran yang bertentangan ini supaya saya tidak memihak kepada mana-mana pihak dalam pertentangan di antara Salafiah Wahabiah dan musuh-musuhnya.
Adapun manhaj yang saya gunakan dalam kajian ini, mula-mula sekali terdiri daripada perkara-perkara berikut: yang pertama, membentangkan pemikiran-pemikiran dan dasar Salafiah Wahabiah dan menganalisanya demi untuk mencapai natijah-natijah yang positif dan negatif yang timbul dari pemikiran-pemikiran ini. Yang kedua,

perbandingan di antara pandangan-pandangan penyokong dan penentang serta membincangkan dan mengkritiknya untuk mengetahui nilai ilmiah bagi permasalahan yang dipertikaikan dan kesannya dalam kehidupan orang-orang Islam sekarang.
Memandangkan tajuk ini agak sensitif, maka saya tidak akan kaitkan mana-mana pendapat kepada mana-mana pihak atau peribadi kecuali setelah menyebut sumber-sumber rasmi bagi pendapat-pendapat tersebut, sebagaimana yang dikehendaki kajian ilmiah. Saya telah bahagikan kajian ini kepada tujuh bahagian termasuk pendahuluan dan pengantar dan bahagian khas untuk mengkaji sumber-sumber dan rujukan. Saya bincangkan dalam pengantar istilah “Salafiah” dengan membawa pendapat ulama-ulama dahulu dan sekarang dan mengambil satu kesimpulan bahawa mana-mana aliran yang menyeru supaya kembali kepada asas-asas Islam yang murni, dengan tidak mengambil kira tafsiran-tafsiran yang diberikan kepada asas-asas ini, maka dianggap sebagai Salafiah. Dalam bahagian pertama saya sentuh tentang kehidupan Sheikh Muhammad bin Abdul Wahhab, perkembangannya, perjalanannya dan persekitarannya dan kami mengambil satu kesimpulan sesuai dengan sumber-sumber sejarah dan pendapat-pendapat ulama bahawa apa yang dikatakan mengenai keadaan agama di Najd sebelum timbulnya dakwah Wahabiah adalah tidak benar. Banyak pandangan yang melampau dikemukakan oleh pihak penyokong dan jelas bagi kita bahawa di zaman itu terdapat masyarakat Islam yang melaksanakan syiar-syiar Islam, bukan hanya syirik semata-mata yang terdapat di Najd sebagaimana yang dikatakan.

Dalam bahagian kedua dan ketiga, kami menyentuh pendekatan Sheikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan falsafahnya dalam masalah pemurnian tauhid dan kami mengambil satu kesimpulan bahawa pemikiran ini mempunyai dua dimensi, yang pertama dimensi agama semata-mata yang bertujuan untuk pemurnian tauhid daripada khurafat dan syirik. Manakala yang kedua dimensi sosio politik. Tujuannya ialah untuk mewujudkan satu sistem politik yang kukuh yang boleh melaksanakan pemurnian tauhid. Kami melihat bahawa natijah-natijah yang penting bagi pemikiran ini ialah, Sheikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah berjaya merapatkan kedua-dua dimensi tadi. Di segi yang lain kami dapati Sheikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggugurkan dimensi yang pertama sehingga dimensi kedua menonjol dan berperanan. Dan kami melihat bagaimana perkara ini telah menyebabkan jumudnya fiqah politik dan mazhab Salafiah Wahabiah dan seterusnya gagal untuk menangani keadaan.
Dalam bahagian keempat dan kelima kami bincangkan pendapat-pendapat penyokong dan penentang. Kami juga mengkritik dan menganalisa permasalahan-permasalahan yang dipertikaikan dan kami mengambil satu kesimpulan bahawa perbezaan di sini hanyalah perbezaan pentafsiran dan sikap. Ia bukan satu perbezaan yang dapat menghalang usaha-usaha untuk mengatasi masalah-masalah dunia Islam. Dalam bahagian keenam kami menyentuh natijah-natijah perselisihan dan kesan-kesannya ketika kami membincangkan sikap Salafiah Wahabiah terhadap setengah golongan Islam dan kami melihat bahagian mana natijah-natijah ini memberi implikasi terhadap hubungan di antara Salafiah Wahabiah dengan golongan-golongan Islam yang lain.
Dalam bahagian ketujuh kami membincangkan kesan dakwah Wahabiah di dunia Islam dan peranannya dalam dakwah hari ini dan kami mengambil satu kesimpulan bahawa banyak pendapat yang melampau mengenai gambaran dakwah Wahabiah dan pemikirannya di dunia Islam. Kami telah dapati bahawa di sana ada aliran salafiah yang bukan timbul daripada Wahabiah sebagaimana di sana ada juga banyak gerakan Islah yang terpengaruh dengan dakwah Wahabiah secara terang-terang. Adapun peranan Salafiah Wahabiah dalam bidang dakwah pada hari ini. Kami melihat bahawa peranan gerakan ini menyentuh banyak masalah. Yang paling penting ialah uslub yang digunakan oleh para da’i Wahabiah. Di antaranya sikap Wahabiah yang mewujudkan permusuhan terhadap golongan-golongan Islam yang lain sehingga memburukkan lagi perselisihan sehingga setengah golongan Islam melarikan diri daripadanya. Pada akhir kajian ini kami tutup dengan cadangan supaya penyokong dan penentang meninggalkan perselisihan dan permusuhan, lalu menumpukan kerjasama menyelamatkan ummat Islam daripada ketinggalan dan kehilangan


Selengkapnya......

Sabtu, 26 Juli 2008

PARA ULAMA, AHLI FIQH DAN PARA QADHI YANG MEMBANTAH IBNU TAIMIYAH

Berikut adalah nama-nama para ulama yang semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta menyerang pendapatpendapatnya. Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:



1. Al Qadli al Mufassir Badr ad-din Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (W 733 H).
2. Al Qadli Muhammad ibn al Hariri al Anshari al Hanafi.
3. Al Qadli Muhammad ibn Abu Bakar al Maliki
4. Al Qadli Ahmad ibn ‘Umar al Maqdisi al Hanbali

Dengan fatwa empat Qadli (hakim) dari empat madzhab ini, Ibnu Taimiyah dipenjara pada tahun 762 H. Peristiwa ini diuraikan dalam ‘Uyun at-Tawarikh karya Ibnu Syakir al Kutubi, Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi karya Ibn al Mu’allim al Qurasyi.

5. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam
ad-Durar al Kaminah.

6. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalam Tuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah .

7. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W 710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.

8. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata:

"Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”
.
9. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya .

10. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: "Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara".

11. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam beberapa karyanya:

- Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar - Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah
- Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam
- An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath- Thalaq al Mu’allaq
- Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il al Ayman wa ath-Thalaq
- at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq
- Raf' asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.

12. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.

13. Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-I (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:
- Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
- Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.

14. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).

15. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.

16. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah
dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.

17. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W 715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.

18. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.

19. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.

20. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:
- Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah ath-Thalaq.
- Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.

21. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn Taimiyah..

22. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)

23. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk memenjarakannya.

24. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam dua risalahnya :
- Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab.
- An-Nashihah adz-Dzahabiyyah

25. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al Muhith.

26. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).

27. Al Faqih ar-Rahhalah Ibnu Baththuthah (W 779 H) dalam karyanya Rihlah Ibn Baththuthah .

28. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah al Kubra.

29. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764 H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya ‘Uyun at-Tawarikh

30. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.

31. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.

32. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq

33. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhats al Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.

34. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H) dalam : Bayan Musykil al Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.

35. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya:

- Ad-Durar al Kaminah fi A’yan al Mi-ah ats- Tsaminah
- Lisan al Mizan
- Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari
- Al Isyarah Bi Thuruq Hadits az-Ziyarah

36. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-ilah al Makkiyyah.

37. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah .

38. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha
Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad.

39. Pimpinan para ulama seluruh Afrika, Abu Abdillah ibn ‘Arafah at-Tunisi al Maliki (W 803 H).

40. Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syekh al Islam1. Artinya orang yang menyebutnya dengan julukan Syekh al Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-Dlau Al Lami'.

41. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamid ad- Din al Farghani ad-Dimasyqi al Hanafi (W 867 H) dalam risalahnya Ar-Radd ‘Ala Ibnu Taimiyah fi al I’tiqad. 1 Maka tidak sepatutnya orang tertipu dengan kitab yang bernama Mafahim.

42. Syekh Ahmad Zurruq al Fasi al Maliki (W 899 H) dalam Syarh Hizb al Bahr.

43. Al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) dalam Al I’lan Bi at-Taubikh liman Dzamma at-Tarikh.

44. Ahmad ibn Muhammad Yang dikenal dengan Ibnu Abd as-Salam al Mishri (W 931 H) dalam al Qaul an-Nashir fi Raddi Khabath 'Ali ibn Nashir.

45. Al ‘Alim Ahmad ibn Muhammad al Khawarizmi ad-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu Qira (W 968 H), beliau mencela Ibnu Taimiyah.

46. al Bayyadli al Hanafi (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram Min ‘Ibarat al Imam.

47. Syekh Ahmad ibn Muhammad al Witri (W 980 H) dalam Raudlah an- Nazhirin Wa Khulashah Manaqib ash- Shalihin.

48. Syekh Ibnu Hajar al Haytami (W 974 H) dalam karya-karyanya;
- Al Fatawi al Haditsiyyah
- Al Jawhar al Munazhzham fi Ziyarah al Qabr al Mu’azhzham
- Hasyiyah al Idhah fi Manasik al Hajj

49. Syekh Jalal ad-Din ad-Dawwani (W 928 H) dalam Syarh al ‘Adludiyyah.

50. Syekh 'Abd an-Nafi’ ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Arraq ad-Dimasyqi (W 962 H) seperti
dijelaskan dalam Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm. 32-33, buah karya Ibnu Thulun.

51. Al Qadli Abu Abdullah al Muqri dalam Nazm al-La-ali fi Suluk al Amali.

52. Mulla ‘Ali al Qari al Hanafi (W 1014 H) dalam Syarh asy-Syifa li al Qadli ‘Iyadl.

53. Syekh Abd ar-Ra-uf al Munawi asy -Syafi’I (W 1031 H) dalam Syarh asy-Syama-il li at- Tirmidzi.

54. Al Muhaddits Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Illan ash-Shiddiqi al Makki (W 1057 H) dalam risalahnya al Mubrid al Mubki fi ar-Radd 'ala ash-Sharim al Munki.

55. Syekh Ahmad al Khafaji al Mishri al Hanafi (W 1069 H) dalam Syarh asy-Syifa li al Qadl ‘Iyadl.

56. Al Muarrikh Ahmad Abu al ‘Abbas al Muqri (W 1041 H) dalam Azhar ar-Riyadl.

57. Syekh Ahmad az-Zurqani al Maliki (W 1122 H) dalam Syarh al Mawahib al-Ladunniyyah
.
58. Syekh Abd al Ghani an-Nabulsi (W 1143 H) dalam banyak karya-karyanya.

59. Al Faqih ash-Shufi Muhammad Mahdi ibn ‘Ali ash Shayyadi yang terkenal dengan ar-Rawwas (W 1287 H)

60. As-Sayyid Muhammad Abu al Huda ash- Shayyadi (W 1328 H) dalam Qiladah al Jawahir
.
61. Al Mufti Musthafa ibn Ahmad asy-Syaththi al Hanbali ad-Dimasyqi (W 1349 H) dalam karyanya an-Nuqul asy-Syar’iyyah
.
62. Mahmud Khaththab as-Subki (W 1352 H) dalam ad-Din al Khalish atau Irsyad al Khalq Ila ad-Din al-Haqq
.
63. Mufti Madinah asy-Syekh Al Muhaddits Muhammad al Khadlir asy-Syinqithi (W 1353
H) dalam karyanya Luzum ath-Thalaq ats-Tsalas Daf’uhu Bi Ma La Yastathi’ al ‘Alim Daf’ahu
.
64. Syekh Salamah al ‘Azami asy-Syafi’i (W 1376 H) dalam al Barahin as-Sathi’ah fi Radd Ba’dl al Bida’ asy-Sya-i’ah dan beberapa makalah dalam surat kabar Mesir Al Muslim

65. Mufti Mesir Syekh Muhammad Bakhit al Muthi’i (W 1354 H) dalam karyanya "Tathhir al Fuad Min Danas aI I’tiqad"

66. Wakil Syekh al Islam pada Daulah Utsmaniyyah (Dinasti Bani Utsman) Syekh Muhammad Zahid al Kawtsari (W 1371 H) dalam beberapa karyanya:
- Maqalat al Kawtsari
- At-Ta’aqqub al Hatsits lima Yanfihi Ibnu Taimiyah mi al Hadits
- Al Buhuts al Wafiyyah fi Mufradat Ibnu Taimiyah
- Al Isyfaq ‘Ala Ahkam ath- Thalaq

67. Ibrahim ibn Utsman as-Samnudi al Mishri dalam karyanya Nushrah al Imam as-Subki Bi
Radd ash-Sharim al Munki.

68. ‘Alim Makkah Muhammad al ‘Arabi at- Tabban (W 1390 H) dalam Bara-ah al Asy’ariyyin Min ‘Aqa-id al Mukhalifin.

69. Syekh Muhammad Yusuf al Banuri al Bakistani dalam Ma’arif as-Sunan Syarh Sunan at-Tirmidzi.

70. Syekh Manshur Muhammad ‘Uwais dalam Ibnu Taimiyah Laisa Salafiyyan.

71. Al-Hafizh Syekh Ahmad ibn ash-Shiddiq al Ghummari al Maghribi (W 1380 H) dalam beberapa karyanya, di antaranya:
- Hidayah ash-Shaghra
- Al Qaul al Jaliyy

72. asy-Syekh al Muhaddits Abdullah al Ghammari al Maghribi (W 1413 H) dalam banyak karyanya, di antaranya:
- Itqan ash-Shan-‘ah Fi Tahqiq Ma’na al Bid’ah
- Ash-Shubh as-Safir fi Tahqiq Shalah al Musafir
- Ar-Rasa-il al Ghammariyyah

73. Al Musnid Abu al Asybal Salim ibn Jindan (W 1969 H) dari Jakarta Indonesia dalam karyanya Al Khulashah al Kafiyah fi al Asanid al ‘Aliyah.

74. Hamdullah al Barajuri, ‘Alim Saharnapur dalam al Bashair Li Munkiri at-Tawassul Bi Ahl al Qubur

75. Syekh Musthafa Abu Sayf al Hamami. Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dalam karyanya Ghawts al ‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad . Buku ini mendapat persetujuan dan rekomendasi dari beberapa ulama besar, di antaranya; Syekh Muhammad Sa’id al ‘Arfi, Syekh Yusuf ad- Dajwi, Syekh Mahmud Abu Daqiqah, Syekh Muhammad al Buhairi, Syekh Muhammad Abd al Fattah ‘Inati, Syekh Habibullah al Jakni asy-Syinqithi, Syekh Dasuqi Abdullah al ‘Arabi dan Syekh Muhammad Hifni Bilal.

76. Muhammad ibn Isa ibn Badran as-Sa’di al Mishri

77. As-Sayyid Syekh al Faqih Alawi ibn Thahir al Haddad al Hadlrami.

78. Mukhtar ibn Ahmad al Muayyad al ‘Adzami (W 1340 H) dalam Jala’ al Awham ‘An Madzahib al A-immah al 'Izham Wa at-Tawassul Bi Jahi Khair al Anam ‘Alaihi ash-Shalatu Wa as Salam yang beliau tulis sebagai bantahan terhadap buku Ibnu Taimiyah; Raf' al Malam
.
79. Syekh Ismail al Azhari dalam Mir-at an- Najdiyyah.

80. KH. Muhammad Ihsan dari Jampes Kediri Jawa timur dalam Kitabnya Siraj ath-Thalibin

81. KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (W 1366 H/1947 R), Rais Akbar Nahdlatul Ulama dari
Jombang Jawa Timur, dalam kitabnya Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

82. KH. Ali Maksum (W 1989 R), Rais ‘am Nahdhatul Ulama IV dari Yogyakarta Jawa
Tengah dalam bukunya Hujjah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

83. KH Abu al Fadll bin Abd asy-Syakur, dari Senori Tuban Jawa Timur dalam kitab-kitabnya, di antaranya:
- Al Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiq al Musamma Bi Ahlussunnah Wal Jama’ah
- Syarh al Kawakib al-Lamma’ah

84. KH. Ahmad Abdul Hamid dari Kendal Jawa Tengah dalam Bukunya ’Aqa-id Ahlussunnah Wal Jama’ah
85. KH Siradjuddin 'Abbas (W 1401 H/1980 R) dalam banyak karyanya:
-I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah
- 40 Masalah Agama, jilid IV

86. Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid ash-Shaulati (W 1997 R) Ampenan Pancor Lombok NTB dalam bukunya Hizb Nahdhatul Wathan Wa Hizb Nahdhatul Banat.

87. K.H. Muhammad Muhajirin Amsar ad-Dari (W 2003 R) dari Bekasi Jawa Barat dalam salah satu surat yang beliau tulis.

88. Al Habib Syekh al Musawa ibn Ahmad al Musawa as-Saqqaf; Penasehat Umum Perguruan Tinggi dan Perguruan Islam Az Ziyadah Klender Jakarta Timur.

89. KH. Muhammad Syafi’i Hadzami Mantan Ketua Umum MUI Propinsi DKI Jakarta 1990-2000 dalam bukunya Taudlih al Adillah.

90. KH. Ahmad Makki Abdullah Mahfudz Sukabumi Jawa Barat dalam Bukunya Hishnu as-Sunnah Wal Jama’ah fi Ma’rifat Firaq Ahl al Bid’ah.

91. Syekh Abdullah Tha'ah. Beliau membantah Ibnu Taimiyah dalam bukunya al Fatawa al 'Aliyyah yang beliau tulis pada tahun 1932. Buku ini memuat fatwa para ulama, para Imam, pengajar dan para mufti serta para Qadli di Makkah, yang sebagian berasal dari Indonesia, Thailand dan lain-lain. Mereka menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah sesat dan menyesatkan.

Berikut nama para ulama yang turut menghadiri majlis pernyataan fatwa tersebut serta menandatanganinya : Sayyid Abdullah –Mufti Madzhab Syafi'i di Makkah-,
Syekh Abdullah Siraj –pimpinan para Qadli dan Kepala para ulama Hijaz-,
Syekh Abdullah ibn Ahmad –Qadli Makkah-,
Syekh Darwisy –Amin Fatwa Makkah-,
Muhammad 'Abid ibn Husain –Mufti Madzhab Maliki di Makkah-,
Syekh Umar ibn Abu Bakr Bajuneid –Wakil Mufti Madzhab Hanbali di Makkah-,
Syekh Abdullah ibn Abbas –Wakil Qadli Makkah-,
Syekh Muhammad Ali ibn Husein al Maliki –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-,
Syekh Ahmad al Qari – Qadli Jeddah-,
Syekh Muhammad Husein –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-,
Syekh Mahmud Zuhdi ibn Abdur Rahman –Seorang pengajar di Makkah-,
Syekh Muhammad Habibullah ibn Maayaabi –Seorang pengajar di Makkah-,
Syekh Abdul Qadir ibn Shabir al Mandayli (Mandailing-Sumut) –Seorang pengajar di Makkah-,
Syekh Mukhtar ibn 'Atharid al Jawi (asal Jawa) –Seorang pengajar di Makkah-,
Syekh Sa'id ibn Muhammad al Yamani –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-,
Syekh Muhammad Jamal ibn Muhammad al Amir al Maliki –Seorang Imam dan pengajar di Makkah-, Sayyid 'Abbas ibn 'Abdul 'Aziz al Maliki –Seorang pengajar di Makkah-,
Syekh Abdullah Zaydan asy-Syinqithi –Seorang pengajar di Makkah-,
Syekh Mahmud Fathani (asal Thailand) –Seorang pengajar di Makkah,
Syekh Hasanuddin ibn Syekh Muhammad Ma'shum asal Medan Deli-Sumut.

92. Syekh Ahmad Khathib al Minangkabawi, Seorang Imam Madzhab Syafi'i di Makkah asal Minangkabau Sumatera dalam bukunya al Khiththah al Mardliyyah.

93. Syekh Muhammad Ali Khathib Minangkabau, Murid Syekh Ahmad Khathib al Minangkabawi, dalam kitabnya Burhan al Haqq. Beliau juga telah mengumpulkan para ulama di Sumatera untuk membantah Rasyid Ridla penulis al Manar dan para pengikutnya di Indonesia.

94. Syekh Abdul Halim ibn Ahmad Khathib al Purbawi al Mandayli, Murid Syekh Mushthafa
Husein, pendiri Pon-Pes. Al Mushthafawiyyah, Purba Baru, Sumut dalam risalahnya Kasyf al Ghummah yang beliau tulis tahun 1389 H -12/8/1969.

95. Syekh Abdul Majid Ali (W. 2003) Kepala Kantor Urusan Agama daerah Kubu-Riau, Sumatera, salah seorang ulama kharismatik dan terkenal di daerah tersebut. Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan menyatakan bahwa gurunya Syekh Abdul Wahhab Panay-Medan mengkafirkan Ibnu Taimiyah.

96. K.H. Abdul Qadir Lubis, pimpinan Pon.Pes. Dar at-Tauhid, Mandailing-Sumut (W. 2003). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah di sebagian majlisnya.

97. K.H. Muhammad Sya'rani Ahmadi Kudus Jawa Tengah dalam bukunya al Fara-id as- Saniyyah wa ad-Durar al Bahiyyah yang beliau tulis pada tahun 1401 H. Dalam buku ini beliau menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah adalah seorang Musyabbih Mujassim (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk- Nya dan meyakini bahwa Allah adalah jisim - benda-).

98. K.H. Muhammad Mashduqi Mahfuzh, Ketua Umum MUI Jawa Timur dalam bukunya al Qawa'id al Asasiyyah li Ahlissunnah Wal Jama'ah.

99. Syekh al Muhaddits al Faqih Abdullah al Harari al Habasyi dalam kitabnya al Maqalaat as- Sunniyyah Fi Kasyf Dlalalaat Ahmad ibn Taimiyah.

Terakhir, Wahai seorang pencari kebenaran, lihat dan amatilah! bagaimana mungkin kita berpegangan dengan orang yang dicela oleh sekian banyak para ulama yang menjelaskan hakekatnya serta kesesatan-kesesatannya agar diwaspadai, dijauhi dan tidak diikuti oleh umat.

Apakah menjelaskan kebenaran itu pantas ditentang dan ditolak !? Subhanaka Hadza Buhtan 'Azhim.

ﻣﻹﺍ ﻝﺎﻗ ﻕﺎﻗﺪﻟﺍ ﻲﻠﻋ ﻮﺑﺃ ﰲﻮﺼﻟﺍ ﱂﺎﻌﻟﺍ ﻡﺎ :
" ﺱﺮﺧﺃ ﻥﺎﻄﻴﺷ ﻖﳊﺍ ﻦﻋ ﺖﻛﺎﺴﻟﺍ "
ﻴﺸﻘﻟﺍ ﻢﺳﺎﻘﻟﺍ ﻮﺑﺃ ﻩﺍﻭﺭ ـ ﻪﺘﻟﺎﺳﺭ ﰲ ﻱﺮ


Al Imam al ‘Alim ash Shufi Abu ‘Ali ad-Daqqaq - semoga Allah meridlainya- yang maknanya:
”Orang yang diam dan tidak menjelaskan kebenaran adalah setan yang bisu”.
(Diriwayatkan oleh Abu al Qasim al Qusyayri dalam Ar-Risalah al Qusyairiyyah)

Wallahu a'lam

Selengkapnya......

ULAMA AHLUSSUNNAH BERBICARA TENTANG IBNU TAIMIYAH

Al Hafizh Ibnu Hajar (W 852 H) menukil dalam kitab ad-Durar al Kaminah juz I, hlm. 154-155 bahwa para ulama menyebut Ibnu Taimiyah dengan tiga sebutan: Mujassim, Zindiq, Munafiq. Ibnu Hajar menyatakan; Ibnu Taimiyah menyalahkan sayyidina ‘Umar ibn al Khaththab – semoga Allah meridlainya-, dia menyatakan tentang sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq –semoga Allah meridlainya- bahwa beliau masuk Islam di saat tua renta dan tidak menyadari betul apa yang beliau katakan (layaknya seorang pikun).


Sayyidina Utsman ibn ‘Affan –semoga Allah meridlainya-, - masih kata Ibnu Taimiyah- mencintai dan gandrung harta dunia (materialis) dan sayyidina 'Ali ibn Abi Thalib –semoga Allah meridlainya-, -menurutnya- salah dan menyalahi nash al-Qur’an dalam 17 permasalahan, 'Ali menurut Ibnu Taimiyah tidak pernah mendapat pertolongan dari Allah ke manapun beliau pergi, dia sangat gandrung dan haus akan kekuasaan dan dia masuk Islam di waktu kecil padahal anak kecil itu Islamnya tidak sah. Ibnu Hajar al Haytami (W 974 H) dalam karyanya Hasyiyah al Idlah fi Manasik al Hajj Wa al 'Umrah li an-Nawawi, hlm. 214 menyatakan tentang pendapat Ibnu Taimiyah yang mengingkari kesunnahan safar (perjalanan) untuk ziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:

"Janganlah tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang disesatkan oleh Allah seperti dikatakan oleh al ‘Izz ibn Jama’ah. At-Taqiyy as-Subki dengan panjang lebar juga telah membantahnya dalam sebuah tulisan tersendiri. Perkataan Ibnu Taimiyah yang berisi celaan dan penghinaan terhadap Rasulullah Muhammad ini
tidaklah aneh karena dia bahkan telah mencaci Allah, Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang kafir dan atheis. Ibnu Taimiyah menisbatkan hal-hal yang tidak layak bagi Allah, ia menyatakan Allah memiliki arah, tangan, kaki, mata (yang merupakan anggota badan) dan hal-hal buruk yang lain. Karenanya, Demi Allah ia telah dikafirkan oleh banyak para ulama, semoga Allah memperlakukannya dengan kedilan-Nya dan tidak
menolong pengikutnya yang mendukung dusta-dusta yang dilakukan Ibnu Taimiyah terhadap Syari’at Allah yang mulia ini”.

Pengarang kitab Kifayatul Akhyar Syekh Taqiyy ad-Din al Hushni (W 829 H), setelah menuturkan bahwa para ulama dari empat madzhab menyatakan Ibnu Taimiyah sesat, dalam kitabnya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa tamarrada beliau menyatakan:

ﻓ ﻩﺮﻔﻛ ﺭﺎﺼ ) ﺔﻴﻤﻴﺗ ﻦﺑﺍ ( ﻴﻠﻋ ﺎﻌﻤﳎ ﻪ

“Maka dengan demikian, kekufuran Ibnu Taimiyah adalah hal yang disepakati oleh para ulama”.

Adz-Dzahabi (Mantan murid Ibnu Taimiyah) dalam risalahnya Bayan Zaghal al Ilmi wa ath-Thalab, hlm 17 berkata tentang Ibnu Taimiyah:

”Saya sudah lelah mengamati dan menimbang sepak terjangnya (Ibnu Taimiyah), hingga saya merasa bosan setelah bertahun-tahun menelitinya. Hasil yang saya peroleh; ternyata bahwa penyebab tidak sejajarnya Ibnu Taimiyah dengan ulama Syam dan Mesir serta ia dibenci, dihina, didustakan dan dikafirkan oleh penduduk Syam dan Mesir adalah karena ia sombong, terlena oleh diri dan hawa nafsunya (‘ujub), sangat haus dan gandrung untuk mengepalai dan memimpin para ulama dan sering melecehkan para ulama besar. Lihatlah Wahai pembaca betapa berbahayanya mengaku-ngaku sesuatu yang tidak dimilikinya dan betapa nestapanya akibat yang ditimbulkan dari gandrung akan popularitas dan ketenaran. Kita mohon semoga Allah mengampuni kita".

Adz-Dzahabi melanjutkan:

“Sesungguhnya apa yang telah menimpa Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya, hanyalah sebagian dari resiko yang harus mereka peroleh, janganlah pembaca ragukan hal ini”.

Risalah adz-Dzahabi ini memang benar adanya dan ditulis oleh adz-Dzahabi karena al Hafizh as-Sakhawi (W 902 H) menukil perkataan adz-Dzahabi ini dalam bukunya al I’lan bi at-Taubikh, hlm. 77.

Al Hafizh Abu Sa’id al ‘Ala-i (W 761 H) yang semasa dengan Ibnu Taimiyah juga mencelanya. Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) juga melakukan hal yang sama, sejak membaca pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Kitab al ’Arsy yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi dan telah menyisakan tempat kosong di Kursi itu untuk mendudukkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam bersama-Nya”, beliau melaknat Ibnu Taimiyah. Abu Hayyan mengatakan: “Saya melihat sendiri hal itu dalam bukunya dan saya tahu betul tulisan tangannya". Semua ini dituturkan oleh Imam Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsirnya yang berjudul an-Nahr al Maadd min al Bahr al Muhith..

Ibnu Taimiyah juga menuturkan keyakinannya bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy dalam beberapa kitabnya: Majmu’ al Fatawa, juz IV, hlm. 374, Syarh Hadits an-Nuzul, hlm. 66, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, juz I , hlm. 262. Keyakinan seperti ini jelas merupakan kekufuran. Termasuk kekufuran Tasybih; yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama Ahlussunnah. Ini juga merupakan bukti bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah Mutanaaqidl (Pernyataannya sering bertentangan antara satu dengan yang lain). Bagaimana ia mengatakan -suatu saat- bahwa Allah duduk di atas ‘Arsy dan –di saat yang lain- mengatakan Allah duduk di atas Kursi ?!, padahal kursi itu jauh
sangat kecil di banding ‘Arsy.

Setelah semua yang dikemukakan ini, tentunya tidaklah pantas, terutama bagi orang yang mempunyai pengikut untuk memuji Ibnu Taimiyah karena jika ini dilakukan maka orang-orang tersebut akan mengikutinya, dan dari sini akan muncul bahaya yang sangat besar. Karena Ibnu Taimiyah adalah penyebab kasus pengkafiran terhadap orang yang ber-tawassul, beristighatsah dengan Rasulullah dan para Nabi, pengkafiran terhadap orang yang berziarah ke makam Rasulullah, para Nabi serta para Wali untuk ber-tabarruk. Padahal pengkafiran seperti ini belum pernah terjadi sebelum kemunculan Ibnu Taimiyah. Sementara itu, sekarang ini para pengikut Ibnu Taimiyah juga mengkafirkan orangorang yang ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan para nabi dan orang-orang yang Saleh, bahkan mereka menamakan Syekh ‘Alawi ibn Abbas al Maliki dengan nama Thaghut Bab as-Salam (ini artinya mereka mengkafirkan Sayyid ‘Alawi), karena beliau -semoga Allah merahmatinya- mengajar di sana, di Bab as-Salam, al Masjid al Haram, Makkah al Mukarramah

Wallahu a'lam

Selengkapnya......

SIAPAKAH IBNU TAIMIYAH ?

Ahmad ibn Taimiyah lahir di Harran, Syiria, di tengah keluarga berilmu yang bermadzhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang yang berperawakan tenang. Beliau dihormati oleh para ulama Syam dan para pejabat pemerintah sehingga mereka mempercayakan beberapa jabatan ilmiah kepadanya untuk membantunya. Setelah ayahnya wafat, Ibnu Taimiyah menggantikan posisinya. Orang-orang yang selama ini mempercayai ayahnya, menghadiri majelisnya guna mendorong dan memotivasinya dalam meneruskan tugas-tugas ayahnya dan memujinya. Namun pujian tersebut ternyata justru membuat Ibnu Taimiyah terlena dan tidak menyadari motif sebenarnya di balik pujian tersebut. Ibnu Taimiyah mulai menyebarkan satu demi satu bid’ah-bid’ahnya hingga para ulama dan pejabat yang dulu memujinya tersebut mulai menjauhinya satu persatu.


Ibnu Taimiyah meskipun tersohor dan memiliki banyak karangan dan pengikut, namun sesungguhnya ia adalah seperti yang dinyatakan oleh al Hafizh al Faqih Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 862 H): “Ibnu Taimiyah telah menyalahi Ijma’ dalam banyak permasalahan, kira-kira sekitar 60 masalah, sebagian dalam masalah Ushul ad-Din (pokok-pokok agama) dan sebagian berkenaan dengan masalah-masalah furu’ ad-Din (cabang-cabang agama), Ibnu Taimiyah dalam masalah-masalah tersebut mengeluarkan pendapat lain; yang berbeda setelah terjadi ijma’ di dalamnya".

Berbagai kalangan orang awam dan yang lainpun mulai terpengaruh dan mengikuti Ibnu Taimiyah sehingga ulama-ulama di masa Ibnu Taimiyah mulai angkat bicara dan membantah pendapat-pendapatnya serta memasukkannya dalam kelompok para para ahli bid’ah. Di antara yang membantah Ibnu Taimiyah adalah al Imam al Hafizh Taqiyy ad-Din Ali bin Abd al Kafi as-Subki (W 756 H) dalam karyanya ad-Durrah al Mudliyyah fi ar-Radd 'ala Ibn Taimiyah, beliau mengatakan:

“Amma ba’du. Ibnu Taimiyah benar-benar telah membuat bid’ah-bid’ah dalam dasar-dasar keyakinan (Ushul al 'Aqa-id), ia telah meruntuhkan tonggaktonggak dan sendi-sendi Islam setelah ia sebelum ini bersembunyi di balik kedok mengikuti al Qur’an dan as- Sunnah. Pada zhahirnya ia mengajak kepada kebenaran dan menunjukkan kepada jalan surga, ternyata kemudian ia bukan melakukan ittiba’ (mengikuti sunnah, ulama Salaf dan konsensus ulama) tetapi justru membuat bid’ah-bid’ah baru, ia menyempal dari umat muslim dengan menyalahi Ijma’ mereka dan ia juga mengatakan tentang Allah perkataan yang mengandung tajsim (meyakini Allah adalah jisim; benda yang memiliki ukuran dan dimensi) dan ketersusunan (tarkib) bagi dan Allah"
.
Di antara perkataan Ibnu Taimiyah dalam ushul ad-din yang menyalahi ijma’ kaum muslimin
adalah perkataannya bahwa jenis alam ini qadim (tidak bermula), (sebagaimana ia katakan dalam tujuh karyanya: Muwafaqah Sharih al Ma’qul li Shahih al Manqul, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Syarh Hadits an-Nuzul, Syarh Hadits ‘Imran ibn al Hushain, Naqd Maratib al Ijma’, Majmu’ah Tafsir Min Sitt Suwar, Al Fatawa) dan Allah pada Azal (keberadaan tanpa permulaan) selalu diiringi dengan makhluk. Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa Allah adalah jism (bentuk), mempunyai arah dan berpindah-pindah. Ini
semua adalah hal yang ditolak dalam agama Allah ini.


Dalam sebagian karangannya, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa Allah Ta’ala persis sebesar ‘Arsy, tidak lebih besar atau lebih kecil, Maha suci Allah dari perkataan ini. Ibnu Taimiyah juga menyatakan bahwa para nabi itu tidak ma’shum, Nabi Muhammad tidak memilik jah (kehormatan), karena itu menurutnya jika ada orang bertawassul dengan Nabi maka ia salah besar (sebagaimana ia nyatakan dalam bukunya at-Tawassul Wa al Wasilah . Ia juga mengatakan bahwa berpergian untuk berziarah ke makam Rasulullah adalah perjalanan yang tergolong maksiat dan tidak boleh mengqashar shalat karenanya (sebagaimana ia kemukakan dalam kitab al Fatawa). Dalam hal ini ia benar-benar sangat berlebihan padahal tidak ada
seorangpun sebelumnya berpendapat semacam ini. Ibnu Taimiyah juga menyatakan bahwa siksa bagi penduduk neraka akan terhenti dan tidak akan berlaku selama-lamanya (sebagaimana dituturkan oleh sebagian ahli fiqh dari sebagian karangan Ibnu Taimiyah dan dinukil oleh muridnya; Ibn al Qayyim al Jawziyyah dalam kitab Hadi al Arwah).

Ibnu Taimiyah sudah berkali-kali diperintah untuk bertaubat dari perkataan dan keyakinannya yang sesat ini, baik dalam masalah-masalah ushul maupun furu', namun ia selalu mengingkari janjijanjinya sehingga akhirnya ia dipenjara dengan kesepakatan para qadli (hakim) dari empat madzhab; Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Al Imam al Hafizh al Faqih al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki dalam salah satu risalahnya mengatakan:

“Ibnu Taimiyah dipenjara atas kesepakatan para ulama dan para penguasa”.

Terakhir mereka menyatakan Ibnu Taimiyah adalah sesat, harus diwaspadai dan dijauhi, seperti dijelaskan oleh Ibnu Syakir al Kutubi (murid Ibnu Taimiyah sendiri) dalam kitabnya
‘Uyun at-Tawarikh. Pada saat yang sama, raja Muhammad ibn Qalawun mengeluarkan
keputusan resmi pemerintah untuk dibaca di semua Masjid di Syam dan Mesir agar masyarakat mewaspadai dan menjauhi Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Ibnu Taimiyah akhirnya dipenjara di benteng Al-Qal’ah di Damaskus hingga mati di tahun 728 H.

Wallahu a'lam

Selengkapnya......

Fiqothun Najiyyah

Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan atas Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya yang baik dan suci. Allah ta’ala berfirman:


ﺮﻜﻨﳌﺍ ﻦﻋ ﻥﻮﻬﻨﺗﻭ ﻑﻭﺮﻌﳌﺎﺑ ﻥﻭﺮﻣﺄﺗ ﺱﺎﻨﻠﻟ ﺖﺟﺮﺧﺃ ﺔﻣﺃ ﲑﺧ ﻢﺘﻨﻛ


Maknanya: “Kalian adalah sebaik–baik umat yang dikeluarkan untuk manusia, menyeru kepada al Ma’ruf (hal-hal yang diperintahkan Allah) dan mencegah dari al Munkar (hal-hal yang dilarang Allah)”. (Q.S. Ali ‘Imran: 110)


Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

ﻥﺎﳝﻹﺍ ﻒﻌﺿﺃ ﻚﻟﺫﻭ ﻪﺒﻠﻘﺒﻓ ﻊﻄﺘﺴﻳ ﱂ ﻥﺈﻓ ﻪﻧﺎﺴﻠﺒﻓ ﻊﻄﺘﺴﻳ ﱂ ﻥﺈﻓ ﻩﺪﻴﺑ ﻩﲑﻐﻴﻠﻓ ﺍﺮﻜﻨﻣ ﻢﻜﻨﻣ ﻯﺃﺭ ﻦﻣ

Maknanya:
“Barangsiapa di antara kalian mengetahui suatu perkara munkar, hendaklah ia
merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu, hendaklah ia merubahnya dengan lisannya, jika ia tidak mampu, hendaklah ia mengingkari dengan hatinya. Dan hal itu (yang disebut terakhir) paling sedikit buah dan hasilnya; dan merupakan hal yang diwajibkan atas seseorang ketika ia tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lidahnya”. (HR. Muslim )

Syari'at telah menyeru untuk mengajak kepada yang al ma’ruf, yaitu hal-hal yang diperintahkan Allah dan mencegah hal-hal yang munkar, yang diharamkan oleh Allah, menjelaskan kebathilan sesuatu yang bathil dan kebenaran perkara yang haqq. Pada masa kini, banyak orang yang mengeluarkan fatwa tentang agama, sedangkan fatwa-fatwa tersebut sama sekali tidak memiliki dasar dalam Islam. Karena itu perlu ditulis sebuah buku untuk menjelaskan yang haqq dari yang bathil, yang benar dari yang tidak benar. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam memperingatkan masyarakat dari orang yang menipu ketika menjual makanan. Al-Bukhari juga meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mengatakan tentang dua orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin: “Saya mengira bahwa si fulan dan si fulan tidak mengetahui sedikitpun tentang agama kita ini”.

Kepada seorang khathib, yang mengatakan:

ﻯﻮﻏ ﺪﻘﻓ ﺎﻤﻬﺼﻌﻳ ﻦﻣﻭ ﺪﺷﺭ ﺪﻘﻓ ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﷲﺍ ﻊﻄﻳ ﻦﻣ

Maknanya:
"Barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka ia telah mendapatkan petunjuk,
dan barang siapa bermaksiat kepada keduanya maka ia telah melakukan kesalahan"
Rasulullah menegurnya dengan mengatakan: ﺑ ﺖﻧﺃ ﺐﻴﻄﳋﺍ ﺲﺌ
Maknanya: "Seburuk-buruk khathib adalah engkau” (HR. Ahmad)

ini dikarenakan khathib tersebut menggabungkan antara Allah dan Rasul-Nya dalam satu dlamir (kata ganti) dengan mengatakan ﺎﻤﻬﺼﻌﻳ ﻦﻣﻭ.

Kemudian Rasulullah berkata kepadanya:
“katakanlah:
ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﷲﺍ ﺺﻌﻳ ﻦﻣﻭ
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam tidak membiarkan perkara sepele ini, meski tidak
mengandung unsur kufur atau syirik. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin beliau akan
tinggal diam dan membiarkan orang-orang yang menyelewengkan ajaran-ajaran agama dan
menyebarkan penyelewengan-penyelewengan tersebut di tengah-tengah masyarakat. Tentunya orang semacam ini lebih harus diwaspadai dan dijelaskan kepada masyarakat bahaya dan kesesatannya.

Ketika kami menyebut beberapa nama orang yang menyimpang dalam risalah ini, maka hal ini tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan, bahkan sebaliknya ini adalah hal yang wajib dilakukan untuk memperingatkan masyarakat. Dalam sebuah hadits sahih bahwa Fathimah binti Qays berkata kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, aku telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm”. Rasulullah berkata: "Abu Jahm suka memukul
perempuan, sedangkan Mu’awiyah adalah orang miskin yang tidak mempunyai harta (yang mencukupi untuk nafkah yang wajib), menikahlah dengan Usamah”.(HR. Muslim dan Ahmad)

Dalam hadits ini Rasulullah mengingatkan Fathimah binti Qays dari Mu’awiyah dan Abu Jahm. Beliau menyebutkan nama kedua orang tersebut di belakang mereka dan menyebutkan hal yang dibenci oleh mereka berdua, ini dikarenakan dua sebab. Pertama: Mu’awiyah orang yang sangat fakir sehingga ia tidak akan mampu memberi nafkah kepada istrinya. Kedua: Abu Jahm adalah seorang yang sering memukul perempuan. Jikalau terhadap hal semacam ini saja Rasulullah angkat bicara dan memperingatkan, apalagi berkenaan dengan orang-orang yang mengaku berilmu dan ternyata menipu masyarakat serta menjadikan kekufuran sebagai Islam.

Oleh karena itu Imam asy-Syafi’i mengatakan di hadapan banyak orang kepada Hafsh al Fard: “Kamu benar-benar telah kufur kepada Allah yang Maha Agung” (yakni telah jatuh dalam kufur hakiki yang mengeluarkan seseorang dari Islam sebagaimana dijelaskan oleh Imam al Bulqini dalam kitab Zawa-id ar Raudlah), (lihat Manaqib asy- Syafi’i, jilid I, h. 407). Beliau juga menyatakan tentang Haram bin Utsman, seorang yang hidup semasa dengannya dan biasa berdusta ketika meriwayatkan hadits: "Meriwayatkan hadits dari Haram (bin Utsman) hukumnya adalah haram”. Imam Malik juga mencela (jarh) orang yang semasa dan tinggal di daerah yang sama dengannya; Muhammad bin Ishaq, penulis kitab al Maghazi. Imam Malik berkata: “Dia seringkali berbohong". Imam Ahmad bin Hanbal berkata tentang al Waqidi: “al Waqidi seringkali berbohong”.


SIAPAKAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH ?

Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para
sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang
dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:

" .. ﻦﻤﻓ ﻋﺎﻤﳉﺍ ﻡﺰﻠﻴﻠﻓ ﺔﻨﳉﺍ ﺔﺣﻮﺒﲝ ﺩﺍﺭﺃ ﺔ "

Maknanya:
"…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah; yakni berpegang teguh pada aqidah al Jama’ah”. (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih)"

Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam yang agung Abu al Hasan al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H) - semoga Allah meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argument rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya, sehingga
Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi). Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.

Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam al Ithaf juz II hlm. 6, mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyah dan al Maturidiyyah”. Mereka adalah ratusan juta ummat Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzab Hanafi dan orangorang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah). Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas ummatnya tidak akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka. Maka diwajibkan untuk penuh perhatian dan keseriusan dalam mengetahui aqidah al Firqah an- Najiyah yang merupakan golongan mayoritas, karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia disebabkan ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Rasulullah shallalllahu ‘alayhi wasallam ditanya tentang sebaik-baik perbuatan, beliau menjawab:

ﻳﺇ ـ ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﷲﺎﺑ ﻥﺎﻤ

Maknanya: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. al Bukhari)

Sama sekali tidak mempunyai arti (berpengaruh), ketika golongan Musyabbihah mencela ilmu ini dengan mengatakan "ilmu ini adalah ‘ilm al Kalam al Madzmum (ilmu kalam yang dicela) oleh salaf. Mereka tidak mengetahui bahwa ‘ilm al Kalam al Madzmum adalah yang dikarang dan ditekuni oleh Mu’tazilah, Musyabbihah dan ahli-ahli bid’ah semacam mereka. Sedangkan ‘ilm al Kalam al Mamduh (ilmu kalam yang terpuji) yang ditekuni oleh Ahlussunnah, dasar-dasarnya sesungguhnya telah ada di kalangan para sahabat. Pembicaraan dalam ilmu ini dengan membantah ahli bid’ah telah dimulai pada zaman para sahabat. Sayyidina Ali - semoga Allah meridlainya- membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya. Beliau juga membungkam salah seorang pengikut ad- Dahriyyah (golongan yang mengingkari adanya pencipta alam ini). Dengan hujjahnya pula, beliau mengalahkan empat puluh orang Yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Beliau juga membantah orang-orang Mu’tazilah. Ibn Abbas -semoga Allah meridlainya- juga berhasil membantah golongan Khawarij dengan hujjahhujjahnya. Ibn Abbas, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Abdullah
ibn ‘Umar -semoga Allah meridlai mereka semua- juga telah membantah kaum Mu’tazilah.

Dari kalangan Tabi’in; al Imam al Hasan al Bishri, al Imam al Hasan ibn Muhammad Ibn al Hanafiyyah cucu sayyidina ‘Ali, dan khalifah ‘Umar ibn Abd al 'Aziz -semoga Allah meridlai mereka- juga telah membantah kaum Mu’tazilah. Dan masih banyak lagi ulama-ulama salaf lainnya, terutama al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya-, beliau sangat mumpuni dalam ilmu aqidah, demikian pula al Imam Abu Hanifah, al Imam Malik dan al Imam Ahmad -semoga Allah meridlai mereka- sebagaimana dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi (W 429 H) dalam Ushul ad-Din, al Hafizh Abu al Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam Tabyin Kadzib al Muftari, al Imam az- Zarkasyi (W 794 H) dalam Tasynif al Masami’ dan al 'Allaamah al Bayyadli (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram dan lain-lain.

Telah banyak para ulama yang menulis kitabkitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Risalah al'Aqidah ath-Thahawiyyah karya al Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an- Nasafi (W 537 H), al ‘Aqidah al Mursyidah karangan al Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al Imam Muhammad ibn Hibatillah al Makki (W 599 H); beliau menamakannya Hadaiq al Fushul wa
Jawahir al Ushul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sulthan Shalah ad-Din al
Ayyubi (W 589 H) -semoga Allah meridlainya-, beliau sangat tertarik deng an buku tersebut sehingga memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil di madrasah-madrasah, sehingga buku tersebut kemudian dikenal dengan sebutan al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.

Sulthan Shalah ad-Din adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian
khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah dan Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al 'Aqidah as- Sunniyyah dan senantiasa penulisan itu terus berlangsung.

Wallahu a'lam

Selengkapnya......

Oh,,,Ramadhan

Selain memerintah shaum, dalam menyambut bulan Ramadhan, Rasulullah
selalu memberikan beberapa nasehat dan pesan-pesan ketika memasuki bulan Ramadhan.
Wahai manusia, sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi
Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama



Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan
oleh-NYA. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah,
amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca Kitab-Nya.

Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu di hari kiamat.....Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin.

Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya.

Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu.

Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan doa mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai manusia, sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa) mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.
Ketahuilah! Allah ta'ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabb al-alamin.

Wahai manusia! Barang siapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu. (Sahabat-sahabat lain bertanya: "Ya Rasulullah! Tidaklah kami semua mampu berbuat demikian."

Rasulullah meneruskan: "Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air."

Wahai manusia! Siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati sirathol mustaqim pada hari ketika kaki-kaki tergelincir.

Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat.

Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakanya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barang siapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardu baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardu di bulan lain.

Barangsiapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangan nya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu. Amirul mukminin k.w. berkata: "Aku berdiri dan berkata: "Ya Rasulullah! Apa amal yang paling utama di bulan ini?" Jawab Nabi: "Ya Abal Hasan! Amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah".

Wahai manusia! sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkahan, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu fardhu, dan qiyam di malam harinya suatu
tathawwu'."

"Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan di dalamnya, samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di dalam bulan yang lain."

"Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu adalah pahalanya surga. Ramadhan itu adalah bulan memberi pertolongan ( syahrul muwasah ) dan bulan Allah memberikan rizqi kepada mukmin di dalamnya."

"Barangsiapa memberikan makanan berbuka seseorang yang berpuasa, adalah yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa sedikitpun
berkurang."

Para sahabat berkata, "Ya Rasulullah, tidaklah semua kami memiliki makanan berbuka puasa untuk orang lain yang berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah saw, "Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi sebutir kurma, atau seteguk air, atau sehirup susu."

"Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Barangsiapa meringankan beban dari budak sahaya (termasuk di sini para pembantu rumah) niscaya Allah mengampuni dosanya dan memerdekakannya dari neraka."

"Oleh karena itu banyakkanlah yang empat perkara di bulan Ramadhan; dua perkara untuk mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan dua perkara lagi kamu sangat menghajatinya."

"Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan mohon ampun kepada-Nya . Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan perlindungan dari neraka."

"Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berbuka puasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolam-Ku dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk ke dalam surga." (HR. Ibnu Huzaimah).

Selengkapnya......