Jumat, 25 Juli 2008

Hujjah Syafi'iyah (Bid'ah)

Sebahagian orang, telah terburu-buru dalam menyimpulkan bahwa "semua bid'ah itu adalah tercela", kemudian dengan serta merta telah pula menjadikan fatwa ulama sebagai satu permainan dan ajang perdebatan tanpa ujung. Untuk itulah, sebagai penguat dari penjelasan bahwa "hanya bid'ah yang bercanggah dengan syari'at lah yang tercela",,berikut kita akan ikuti pernyataan Ulama (Syafi'iyah)ketika menyorot "bid'ah",,,,


Bid'ah yang tercela ianya apabila bertentangan dengan hukum Allah baik itu dari dalil-dalil yang khaas maupun yang 'aam, sedangkan yang tidak bertentangan dengan itu adalah tidak dicela (baik). Ini sesuai dengan perndapat Imam Al-Haytami dalam al-Tabyîn fî Sharhal-Arba`în, halaman 32 berikut :

“Bid‘ah dari segi Shari‘atnya ialah satu perkara baru yang diadakan yang bertentangan dengan hukum yang diturunkan Allah, baik apakah ia berdasarkan dalil-dalil yang nyata atau pun dalil-dalil umum” (Al-Haytamî, al-Tabyîn fî Sharhal-Arba`în, hal. 32)

juga apa yang telah dinyatakan oleh Ibn 'Arabi dalam âridat al-Ahwadhî, 10:147 berikut :

“Hanya Bid‘ah yang menyalahi Sunnah saja yang dikecam” (Ibn al-`Arabî,`âridat al-Ahwadhî, 10:147)


Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan dg sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dg ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)


kemudian ini dilanjutkan oleh kedua murid Imam Syafi'i yang terkenal pada zaman akhir kehidupan beliau (Imam Syafi'i) telah meriwayatkan langsung secara sahih mengenai apa yang telah diperkatakan oleh beliau (Imam Syafi'i) yaitu pakar hadith Mesir, Al-Imam Harmala ibn Yahyâ al-Tujaybî dan Al-Imam al-Rabî` ibn Sulaymân al-Murâdî.

Al-Imam Harmala telah menyebutkan :

“Aku mendengar Imam al-Shâfi’e(ra) berkata: “Bid‘ah itu dua jenis (al-bid‘atu bid`atân)”. “Bid‘ah yang dipuji (bid‘ah mahmûdah) dan bid‘ah yang dikeji (bid‘ah mazmûmah). Apa yang selaras dengan Sunnah itu dipuji (mahmûdah) dan apa yang bertentangan itu dikeji (mazmûmah)".
(Diriwayatkan dari Harmala oleh Abû Nu`aym dengan sanad dari Abû Bakr al-'Ajurrî dalam Hilyat al-Awliyâ' 9:121)



Adalah ia juga telah diperkatakan oleh Al-Imam al-Rabî` ialah :

"perkara baru yang diadakan dari segala kebaikan (mâuh dithamin al-khayr) yang tidak bertentangan dengan mana-mana pun di atas, dan ini bukan bid‘ah yang dikeji (wahâdhihi muh dathatun ghayru madhmûmah).Adalah `Umar (ra) berkata terhadap sembahyang Terawih berjemaah di bulan Ramadhan: “Alangkah cantiknya bid‘ah ini!” bermaksud bahwa ‘perkara baru’ yang diada adakan yang belum ada sebelum ini, tetapi ianya tidak bercanggah dengan perkara di atas (Al-Qur’ān, Sunnah, athār Sahabat dan Ijmā’).
(Diriwayatkan dari al-Rabî` oleh al-Bayhaqî di dalam Madkhal dan Manâqib al-Shâfi`î beliau (1:469) dengan sanad sahih sepertimana yang disahkan oleh Ibn Taymiyyah dalam Dâr' Ta`ârud al-`Aql wa al-Naql (hal. 171)

Kita lanjutkan bagaimana pendapat dari murid beliau juga Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah

"menanggapi ucapan Imam Syafii maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud adalah hal hal yg tidak sejalan dg Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

Berikut juga apa yang telah diperkatakan oleh Ulama Syafi'iyah :
Telah berkata pula Al Imam Al-Hadidy dalam Syarah Nahjul Balaghah, sebagai berikut :

"Lafadz bid'ah itu dipakai untuk dua pengertian : 1. Sesuatu yang bertentangan dengan AlQur'an dan sunnah seperti puasa hari raya nahar dan pada hari-hari tasyriq. Perbuatan tersebut walaupun berbentuk puasa akan tetapi ia terlarang dilakukan. 2. Sesuatu yang tidak ada keterangan nash padanya melainkan didiamkan oleh syara'. lalu dilakukan oleh kaum muslimin sesudah wafatnya Rosulullah SAW. Dan apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW, bahwa :"setiap bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dineraka" adalah dimaksudkan untuk bid'ah yang sesuai dengan pengertian yang pertama".

Telah berkata pula Al-Imam Al-Khattabi' dalam Ma'aalimus Sunan IV/301 :

"Adapun Sabda Nabi SAW : "Setiap yang baru itu bid'ah", adalah khusus pada sebagian perkara dan tidak pada sebagian yang lain. Bid'ah itu sendiri adalah segala sesuatu yang diada-adakan dengan tanpa sumber dari agama dan juga tanpa timbangan dan Qiyas darinya. Adapun sebagian perkara baru yang didasarkan kepada qoidah-qoidah ushul dan dapat dikembalikan kepadanya, maka tidaklah ia termasuk bid'ah yang sesat.

Kemudian kita coba tilik bagaimana ijtihad selanjutnya yang dilakukan oleh seorang Ulama Syafi'iyah As-Sheikh, dan Imâm sekalian ilmu-ilmu Islam (sulthonul Ulama) yaitu Abû Muhammad `Abdul-`Azîz ibn `Abdul Salâm, semoga Allâh menerangi kuburnya! telah menyebut di akhir buku beliau, al-Qawâ`id al-Kubrâ:

“Bid‘ah itu terbagi kepada perkara-perkara wajib (wâjibat), Haram (muharramat), Sunat (mandûbat), Makruh (makrûhat), dan Harus (mubâhat). Jalan untuk menilai sesuatu Bid‘ah itu ialah dengan melihat berbagai kaidah Shari’at (qawâ‘id al-sharî‘ah). Jika ianya jatuh dalam kategori kewajiban (îjâb) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram; jika digalakkan maka jadilah ia Sunat, bila ia dibenci maka jadilah ia Makruh dan seterusnya yang selainnya ialah Harus"

Pembagian ini kemudian didukung juga oleh Ulama Syafi'iyah yang lain yaitu Al-Hâfiz Ibn Hajar dalam Fath Bari, beliau berkata:

"Akar kata perkataan ‘bid‘ah’ itu ialah sesuatu yang direka tanpa ada pendahulu sebelumnya. Ianya digunakan dalam Syari‘at sebagai lawan kepada Sunnah, dan oleh itu dikeji. Jika diteliti, sekiranya ianya termasuk dalam apa yang digalakkan oleh Syari‘at, maka ia termasuk dalam bid‘ah baik (bid‘ah hasanah), dan jika ia termasuk dalam perkara yang dikeji maka ianya adalah bid‘ah buruk (mustaqbahah). Selain daripada itu ianya diharuskan (mubâh). Ianya juga boleh dibahagikan kepada lima kategori".(Ibn Hajar, Fath. al-Bârî 4:318).

Kemudian ijtihad ini didukung pula oleh Ulama Syafi'i yang lain lagi yaitu Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim Jilid VI pada halaman 154, sebagai berikut :

"Adapun Hadist Nabi SAW : "Setiap bid'ah itu sesat" adalah hadist yang 'am makshsush (umum tapi dikhususkan). Yang dimaksud sesat disitu adalah kebanyakan bid'ah. Para Ahli bahasa berkata :"Bid'ah adalah segala sesuatu yang dikerjakan dengan tanpa ada contoh yang mendahuluinya. Para ulama berkata, bid'ah itu ada lima macam : wajib, mandub, haram, makruh dan mubah. Termasuk bid'ah yang wajib adalah menyusun dalil-dalil ulama mutakallimin untuk menolak mereka yang melakukan penyimpangan akidah dan para pelaku bid'ah serta yang seumpamanya. Termasuk bid'ah yang mandub adalah menyusun kitab-kitab ilmu, membangun madrasah, dan tempat-tempat pengajian serta yang lainnya. Termasuk ia bid'ah yang mubah adalah memperbanyak warna-warna, makanan dan lainnya. Sedangkan bid'ah yang haram dan makruh sudah jelas.(Syarah Muslim Jilid VI pada hal: 154)

Pendapat yang senada juga telah diungkapkan oleh Ulama-ulama berikut :
- Mulla Ali Qori' dalam Syarhul Misykaat
- Ibnu Muluk dalam Mabaariqul Azhaar Syar Masyaariqul Anwar
- Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syar Shahih Bukhori
- Az-Zarqooni dalam Syar Al-Muwattho'
- Al-Hafidz Abu Syamah dalam Al-Baa'its ala Inkaaril Bida' wal-Hawaadits
- Al-Halabi dalam Insanul 'Uyun fii Siirotin Nabiyyil Makmun
- Al-Baaji dalam A-Muntaqo Syar Al-Muwattho'
- Ibnul 'Arabi dalam 'Aaridhotul Ahwazi Syar At-Turmudzi
- As-Shon'ani dalam Subulus Salam
- As-Sayukani dalam Naihul Author
- dll

Kemudian Al-Hafidz Ibn Rajab telah pula memberi penafsiran berbeda yaitu dengan membagi bid'ah dalam Syar'iyah wa Lughowiyah. Kemudian ini didukung oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya.

Itulah sekelumit dari pendapat Mayoriti para ulama baik yang Syafi'iyah maupun selain Syafi'iyah dimana diantara merekapun ada perbedaan pemberian nama dari bid'ah yang terpuji dan tercela tersebut. Ada diantara mereka yang menyebutnya dengan Mahmudah wa mazmumah atau ada juga yang menafsirkan dengan hasanah wa qabîhah atau ada juga yang menafsirkannya dengan Maqbulah wa Mardudah bahkan ada juga yang menafsirkannya sebagai Syar'iyah wa Lughowiyah

Saudaraku,,
Kesemua perbedaan itu tidaklah mencederai satu sama lain, bolehlah para ulama berbeda pendapat dalam penafsiran, karena itu adalah Fitrah dari masing-masing Ijtihad. Namun alangkah buruknya kalau perbedaan ini kemudian dibawa untuk diperdebatkan apalagi untuk menjatuhkan fatwa satu sama lain. Karena mereka yaitu para Ulama yang telah mengeluarkan Ijtihad tersebut pun tidak ada yang meributkan fatwa yang lain atau mencela fatwa yang lain.

Ini pertanda bahwa Para Alim Ulama telah pula bisa bertoleransi dan saling menghargai, terlebih lagi seharusnya kita bisa menghormati dan menghargai pendapat satu dengan yang lain. toh masih banyak yang perlu untuk diurus, seperti mengusahakan agar orang ramai sholat berjama'ah, membaca Qur'an dan mencintai agama ini, dll lagi amal yang bisa membawa kepada hidayah


Wallahu a'lam

0 komentar:

Posting Komentar