Senin, 06 April 2009

MENJAWAB TENTANG KERAGUAN BOLEHKAH POLIGAMI

Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperluas cakupan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45/1990 tentang poligami, tidak hanya berlaku bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil), namun juga pada pejabat negara, pejabat pemerintah, dan masyarakat luas menyulut kontroversi. Banyak kalangan mengkawatirkan rencana itu kian menyuburkan perzinaan dan perselingkuhan yang telah merajalela.

Sebaliknya, kalangan yang antipoligami menyambut positif rencana tersebut. Sejak lama, kalangan ini sudah menginginkan penghapusan praktik poligami. Kalaupun diperbolehkan, harus dengan syarat-syarat amat rumit dan ketat. Beragam alasan digunakan untuk menolak praktik tersebut. Mulai alasan HAM, kesetaraan gender, hingga berbagai dampak buruk akibat praktik poligami. Lebih jauh, mereka juga menggugat dalil-dalil dalam Islam yang membolehkan poligami
.

Kesimpulan Keliru

Menurut kalangan antipoligami, Islam sesungguhnya melarang poligami. Alasannya, di dalam surat al-Nisa’ ayat 3 poligami memang diperbolehkan. Akan tetapi itu bisa dilakukan apabila suami memenuhi syaratnya, yaitu harus adil. Sedangkan di dalam surat al-Nisa’ ayat 129 disebutkan: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Jika kedua ayat tersebut dipadukan, maka kesimpulan yang didapat adalah larangan poligami. Sebab, pada ayat pertama berisi kebolehan dengan syarat adil, sementara ayat lainnya memberitahukan bahwa manusia tidak akan berbuat adil, yang berarti manusia tidak akan dapat memenuhi syarat tersebut. Sebuah kesimpulan yang tampak logis. Namun, benarkah demikian? Apabila kesimpulan itu benar, tentulah Rasulullah saw akan melarang sama sekali praktik poligami. Sebab apa pun alasannya, poligami hanya akan mengantarkan kepada laki-laki terjatuh kepada dosa lantaran tidak bisa berbuat adil. Pada hal kenyataannya tidak demikian. Riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi saw justru membolehkan praktik poligami.

Ahmad dan al-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kepada Ghailan bin Salamah yang memiliki 10 orang isteri untuk memilih 4 isteri di antara mereka dan menceraikan selebihnya ketika ia masuk Islam. Perintah yang sama juga ditujukan kepada Qais bin Tsabit yang beristeri 8 dan Naufal bin Mua’awiyyah yang beristeri 5. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak melarang kepada mereka untuk beristeri lebih dari satu. Hanya saja, sebagaimana ditetapkan dalam surat al-Nur ayat 3, tidak boleh melebih empat isteri. Di samping itu, Rasulullah saw juga melarang seorang isteri yang menyuruh suaminya menceraikan madunya. Beliau saw bersabda: Seorang isteri tidak boleh meminta (suami) menceraikan saudaranya (madunya) agar ia dapat menguasai piringnya, tetapi hendaklah ia membiarkan tetap dalam pernikahannya karena sesungguhnya bagi dirinya bagian yang telah ditetapkan (HR Ibn Hibban dari Abu Hurairah ra).Sikap Rasulullah saw itu jelas menunjukkan kebolehan poligami, sekaligus kesalahan kesimpulan kalangan antipoligami. Sebab, orang paling otoritatif dan dijamin tidak salah dalam menjelaskan makna al-Quran Rasulullah saw (lihat QS al-Nahl: 44).

Mendudukkan Adil dalam poligami

Jika kesimpulan kalangan antipoligami telah terbukti salah karena bertentangan dengan penjelasan Rasulullah saw, bagaimana mendudukan dua ayat di atas. Harus dipahami bahwa surat al-Nisa ayat 3 itu tidak memberikan syarat adil dalam poligami. Hal ini tergambar dalam ungkapan ayat: Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat. Ayat ini mengandung pengertian mengenai kebolehan berpoligami secara mutlak. Kalimat tersebut telah selesai (sebagai sebuah kalimat sempurna). Kalimat itu kemudian dilanjutkan dengan kalimat berikutnya: Kemudian jika kalian khawatir…..Kalimat ini bukan syarat, karena tidak bergabung dengan—atau merupakan bagian dari—kalimat sebelumnya, tetapi sekadar kalam mustanif (kalimat lanjutan).

Seandainya keadilan menjadi syarat, pastilah akan dikatakan seperti ini: Fankihû mâ thâba lakum min an-nisâ’ matsnâ wa tsulâtsâ wa rubâ’a in adaltum (Nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat asalkan/jika kalian dapat berlaku adil)—sebagai suatu kalimat yang satu. Akan tetapi, hal yang demikian, menurut an-Nabhani, tidak ada, sehingga aspek keadilan secara pasti bukanlah syarat diperbolehkan poligami.

Akan tetapi berlaku adil merupakan kewajiban yang harus ditunaikan suami terhadap isteri-isterinya. Apabila kewajiban itu diabaikan, dia akan mendapatkan dosa. Sehingga, bagi siapa pun yang khawatir tidak bisa berbuat adil, dia dianjurkan membatasi satu isteri saja.

Patut juga ditegaskan, dalam fiqh Islam istilah syarat itu digunakan untuk menunjuk kepada kondisi atau perbuatan yang tidak menjadi bagian dari perbuatan yang dipersyaratkan. Biasanya, harus dipenuhi sebelum perbuatan yang dipersyaratkan itu dikerjakan. Suci dari hadats dan najis misalnya, merupakan syarat sah shalat. Kondisi tersebut harus dipenuhi sebelum shalat dan terus berlangsung sepanjang shalat dikerjakan. Realitas syarat ini tentu tidak tepat jika dikaitkan dengan sifat adil suami terhadap isterinya. Andai adil merupakan syarat sah poligami adalah adil, bagaimana mungkin syarat itu bisa dipenuhi sebelum akad nikah terjadi, sementara perlakuan adil itu baru bisa dilakukan setelah pernikahan?

Lantas bagaimana dengan QS an Nisa: 129 yang seakan-akan menyebutkan manusia tidak bisa berlaku adil terhadap istri-istri mereka . Kedua ayat tersebut (An Nisa 3 dan 129) tersebut tidak boleh diletakkan secara berhadapan akan tetapi dalam kerangka mengkhususkan yang umum (takhsîsh al-’âm). Perintah berlaku adil dalam surat al-Nisa’ ayat 3 itu bersifat umum. Sementara berlaku adil ayat 129 bersifat khusus. Sehingga kedua ayat itu memberikan makna, wajib menunaikan kewajiban terhadap isteri-isterinya dengan berlaku adil terhadap mereka kecuali dalam perkara-perkara yang mereka tidak mungkin melakukannya.

Berkenaan dengan ketidakmampuan manusia berlaku adil sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 129 di atas, Ibn ‘Abbas ra menjelaskan bahwa ketidakmampuan yang dimaksud adalah dalam perkara kecendrungan kasih sayang dan selera syahwat seksual suami terhadap istri-istrinya.� Dalam persoalan cinta kasih, Rasulullah saw lebih condong kepada ‘Aisyah daripada isteri-isteri lainnya. Meskipun demikian, sikap itu tidak boleh mengakibatkan hak-hak isteri yang lain terabaikan. Sehingga, dalam ayat 129 juga dinyatakan: Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.

Sedangkan dalam perkara-perkara yang berada dalam batas kemampuan manusia, seperti pemberian nafkah, sikap dan perlakuan lahiriah, giliran, dan semacamnya, suami wajib berlaku adil. Dengan demikian ini, jelaslah bahwa ayat 129 tidak berfungsi membatalkan ayat 3 seperti anggapan kalangan antipoligami.

Rasulullah saw Melarang Poligami?

Kalangan antipoligami juga sering mengetengahkan hadits tentang larangan Rasulllah saw terhadap Ali berpoligami saat masih beristeri dengan puteri beliau, Fatimah ra. Mereka mengutip Hadits: Nabi saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah (kerabat Abu Jahl) meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka (anak Abu Jahl) dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku terlebih dahulu, Fatimah Bagian dari diriku, apa yang meragukan dirinya meragukan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya menyakiti hatiku, aku sangat kwatir kalau-kalau hal itu mengganggu pikirannya (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, Hadits: 9026).

Penggunaan Hadits ini untuk melarang poligami ternyata tidak sesuai dengan latar-belakang pelarangan tersebut. Nabi saw melarang Ali ra menikah lagi karena hendak dinikahi Ali ra anak musuh Allah Swt, Abu Jahl. Menurut Rasulullah saw tidak layak menyandi putri utusan Allah dengan putri musuh Allah. Sehingga, letak pelarangan tersebut bukan pada poligaminya, namun lebih kepada person yang hendak dinikahi. Beliau sendiri juga menegaskan, tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Hal ini dapat disimpulkan dari Hadits yang sama dari riwayat lain.

Dalam riwayat al-Bukhari, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Fatimah adalah dari diriku dan aku khawatir agama akan terganggu. “Kemudian beliau menyebutkan perkawinan Bani Abdi Syams dan beliau menyanjung pergaulannya, “Dia bicara denganku dan mempercayaiku, dia berjanji padaku dan dia penuhi. Dan sungguh aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram, akan tetapi, demi Allah, jangan sekali-kali bersatu putri Utusan Allah dengan putri musuh Allah.” (H.R. Bukhari)

Praktik Keliru Poligami Bukan Alasan

Sementara berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi akibat praktik poligami sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Sebab, realitas itu terjadi karena praktik poligami tidak dijalankan sesuai dengan tuntunan Islam. Solusinya, tentu bukan melarang poligami, namun meluruskan praktik yang salah itu. Pula, kekerasan bukan monopoli keluarga poligami. Dalam keluarga monogami pun banyak ditemukan kekerasan. Apakah lantaran itu monogami juga harus dilarang?

Alasan bahwa wanita menjadi sakit hati dan tertekan karena suaminya menikah lagi juga tidak tepat. Perasaan tersebut hanya akan muncul akibat anggapan bahwa poligami sebagai sesuatu yang buruk. Dan itu terjadi karena kampanye masif yang dilancarkan kalangan antipoligami. Sebaliknya isteri menganggap poligami sebagai sesuatu yang baik, perasaan sakit hati dan tertekan akibat suaminya berpoligami tidak terjadi. Bahkan jika ia memahami poligami sebagai tindakan mulia, dengan sukarela dia mencari isteri bagi suaminya sebagaimana yang terjadi pada kalangan aktivis Islam.

Penggunaan alasan HAM untuk melarang poligami juga tampak aneh. Hak siapakah yang dilanggar ketika seorang suami memutuskan untuk poligami apalagi jika isteri pertamanya juga meridhai? Mengapa alasan serupa tidak digunakan untuk melarang praktik perzinaan dan perselingkuhan, malah dilokalisasi dan dilegalisasi? Padahal, perzinaan merupakan perilaku amoral yang menghancurkan masyarakat dan kehidupan. Walhasil, tidak ada alasan yang dapat diterima atas penolakan poligami. Kita patut pun bertanya, ada apa poligami dilarang? (www.baitijannati.wordpress.com)

WaLlâh a’lam bi al-shawâb

0 komentar:

Posting Komentar