Sabtu, 26 Juli 2008

Fiqothun Najiyyah

Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan atas Sayyidina Muhammad, keluarga dan para sahabatnya yang baik dan suci. Allah ta’ala berfirman:


ﺮﻜﻨﳌﺍ ﻦﻋ ﻥﻮﻬﻨﺗﻭ ﻑﻭﺮﻌﳌﺎﺑ ﻥﻭﺮﻣﺄﺗ ﺱﺎﻨﻠﻟ ﺖﺟﺮﺧﺃ ﺔﻣﺃ ﲑﺧ ﻢﺘﻨﻛ


Maknanya: “Kalian adalah sebaik–baik umat yang dikeluarkan untuk manusia, menyeru kepada al Ma’ruf (hal-hal yang diperintahkan Allah) dan mencegah dari al Munkar (hal-hal yang dilarang Allah)”. (Q.S. Ali ‘Imran: 110)


Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

ﻥﺎﳝﻹﺍ ﻒﻌﺿﺃ ﻚﻟﺫﻭ ﻪﺒﻠﻘﺒﻓ ﻊﻄﺘﺴﻳ ﱂ ﻥﺈﻓ ﻪﻧﺎﺴﻠﺒﻓ ﻊﻄﺘﺴﻳ ﱂ ﻥﺈﻓ ﻩﺪﻴﺑ ﻩﲑﻐﻴﻠﻓ ﺍﺮﻜﻨﻣ ﻢﻜﻨﻣ ﻯﺃﺭ ﻦﻣ

Maknanya:
“Barangsiapa di antara kalian mengetahui suatu perkara munkar, hendaklah ia
merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu, hendaklah ia merubahnya dengan lisannya, jika ia tidak mampu, hendaklah ia mengingkari dengan hatinya. Dan hal itu (yang disebut terakhir) paling sedikit buah dan hasilnya; dan merupakan hal yang diwajibkan atas seseorang ketika ia tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lidahnya”. (HR. Muslim )

Syari'at telah menyeru untuk mengajak kepada yang al ma’ruf, yaitu hal-hal yang diperintahkan Allah dan mencegah hal-hal yang munkar, yang diharamkan oleh Allah, menjelaskan kebathilan sesuatu yang bathil dan kebenaran perkara yang haqq. Pada masa kini, banyak orang yang mengeluarkan fatwa tentang agama, sedangkan fatwa-fatwa tersebut sama sekali tidak memiliki dasar dalam Islam. Karena itu perlu ditulis sebuah buku untuk menjelaskan yang haqq dari yang bathil, yang benar dari yang tidak benar. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam memperingatkan masyarakat dari orang yang menipu ketika menjual makanan. Al-Bukhari juga meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mengatakan tentang dua orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin: “Saya mengira bahwa si fulan dan si fulan tidak mengetahui sedikitpun tentang agama kita ini”.

Kepada seorang khathib, yang mengatakan:

ﻯﻮﻏ ﺪﻘﻓ ﺎﻤﻬﺼﻌﻳ ﻦﻣﻭ ﺪﺷﺭ ﺪﻘﻓ ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﷲﺍ ﻊﻄﻳ ﻦﻣ

Maknanya:
"Barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka ia telah mendapatkan petunjuk,
dan barang siapa bermaksiat kepada keduanya maka ia telah melakukan kesalahan"
Rasulullah menegurnya dengan mengatakan: ﺑ ﺖﻧﺃ ﺐﻴﻄﳋﺍ ﺲﺌ
Maknanya: "Seburuk-buruk khathib adalah engkau” (HR. Ahmad)

ini dikarenakan khathib tersebut menggabungkan antara Allah dan Rasul-Nya dalam satu dlamir (kata ganti) dengan mengatakan ﺎﻤﻬﺼﻌﻳ ﻦﻣﻭ.

Kemudian Rasulullah berkata kepadanya:
“katakanlah:
ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﷲﺍ ﺺﻌﻳ ﻦﻣﻭ
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam tidak membiarkan perkara sepele ini, meski tidak
mengandung unsur kufur atau syirik. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin beliau akan
tinggal diam dan membiarkan orang-orang yang menyelewengkan ajaran-ajaran agama dan
menyebarkan penyelewengan-penyelewengan tersebut di tengah-tengah masyarakat. Tentunya orang semacam ini lebih harus diwaspadai dan dijelaskan kepada masyarakat bahaya dan kesesatannya.

Ketika kami menyebut beberapa nama orang yang menyimpang dalam risalah ini, maka hal ini tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan, bahkan sebaliknya ini adalah hal yang wajib dilakukan untuk memperingatkan masyarakat. Dalam sebuah hadits sahih bahwa Fathimah binti Qays berkata kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, aku telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm”. Rasulullah berkata: "Abu Jahm suka memukul
perempuan, sedangkan Mu’awiyah adalah orang miskin yang tidak mempunyai harta (yang mencukupi untuk nafkah yang wajib), menikahlah dengan Usamah”.(HR. Muslim dan Ahmad)

Dalam hadits ini Rasulullah mengingatkan Fathimah binti Qays dari Mu’awiyah dan Abu Jahm. Beliau menyebutkan nama kedua orang tersebut di belakang mereka dan menyebutkan hal yang dibenci oleh mereka berdua, ini dikarenakan dua sebab. Pertama: Mu’awiyah orang yang sangat fakir sehingga ia tidak akan mampu memberi nafkah kepada istrinya. Kedua: Abu Jahm adalah seorang yang sering memukul perempuan. Jikalau terhadap hal semacam ini saja Rasulullah angkat bicara dan memperingatkan, apalagi berkenaan dengan orang-orang yang mengaku berilmu dan ternyata menipu masyarakat serta menjadikan kekufuran sebagai Islam.

Oleh karena itu Imam asy-Syafi’i mengatakan di hadapan banyak orang kepada Hafsh al Fard: “Kamu benar-benar telah kufur kepada Allah yang Maha Agung” (yakni telah jatuh dalam kufur hakiki yang mengeluarkan seseorang dari Islam sebagaimana dijelaskan oleh Imam al Bulqini dalam kitab Zawa-id ar Raudlah), (lihat Manaqib asy- Syafi’i, jilid I, h. 407). Beliau juga menyatakan tentang Haram bin Utsman, seorang yang hidup semasa dengannya dan biasa berdusta ketika meriwayatkan hadits: "Meriwayatkan hadits dari Haram (bin Utsman) hukumnya adalah haram”. Imam Malik juga mencela (jarh) orang yang semasa dan tinggal di daerah yang sama dengannya; Muhammad bin Ishaq, penulis kitab al Maghazi. Imam Malik berkata: “Dia seringkali berbohong". Imam Ahmad bin Hanbal berkata tentang al Waqidi: “al Waqidi seringkali berbohong”.


SIAPAKAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH ?

Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para
sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang
dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:

" .. ﻦﻤﻓ ﻋﺎﻤﳉﺍ ﻡﺰﻠﻴﻠﻓ ﺔﻨﳉﺍ ﺔﺣﻮﺒﲝ ﺩﺍﺭﺃ ﺔ "

Maknanya:
"…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah; yakni berpegang teguh pada aqidah al Jama’ah”. (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih)"

Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam yang agung Abu al Hasan al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H) - semoga Allah meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argument rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya, sehingga
Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi). Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama dan satu.

Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam al Ithaf juz II hlm. 6, mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyah dan al Maturidiyyah”. Mereka adalah ratusan juta ummat Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzab Hanafi dan orangorang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah). Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas ummatnya tidak akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka. Maka diwajibkan untuk penuh perhatian dan keseriusan dalam mengetahui aqidah al Firqah an- Najiyah yang merupakan golongan mayoritas, karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia disebabkan ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Rasulullah shallalllahu ‘alayhi wasallam ditanya tentang sebaik-baik perbuatan, beliau menjawab:

ﻳﺇ ـ ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﷲﺎﺑ ﻥﺎﻤ

Maknanya: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. al Bukhari)

Sama sekali tidak mempunyai arti (berpengaruh), ketika golongan Musyabbihah mencela ilmu ini dengan mengatakan "ilmu ini adalah ‘ilm al Kalam al Madzmum (ilmu kalam yang dicela) oleh salaf. Mereka tidak mengetahui bahwa ‘ilm al Kalam al Madzmum adalah yang dikarang dan ditekuni oleh Mu’tazilah, Musyabbihah dan ahli-ahli bid’ah semacam mereka. Sedangkan ‘ilm al Kalam al Mamduh (ilmu kalam yang terpuji) yang ditekuni oleh Ahlussunnah, dasar-dasarnya sesungguhnya telah ada di kalangan para sahabat. Pembicaraan dalam ilmu ini dengan membantah ahli bid’ah telah dimulai pada zaman para sahabat. Sayyidina Ali - semoga Allah meridlainya- membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya. Beliau juga membungkam salah seorang pengikut ad- Dahriyyah (golongan yang mengingkari adanya pencipta alam ini). Dengan hujjahnya pula, beliau mengalahkan empat puluh orang Yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Beliau juga membantah orang-orang Mu’tazilah. Ibn Abbas -semoga Allah meridlainya- juga berhasil membantah golongan Khawarij dengan hujjahhujjahnya. Ibn Abbas, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Abdullah
ibn ‘Umar -semoga Allah meridlai mereka semua- juga telah membantah kaum Mu’tazilah.

Dari kalangan Tabi’in; al Imam al Hasan al Bishri, al Imam al Hasan ibn Muhammad Ibn al Hanafiyyah cucu sayyidina ‘Ali, dan khalifah ‘Umar ibn Abd al 'Aziz -semoga Allah meridlai mereka- juga telah membantah kaum Mu’tazilah. Dan masih banyak lagi ulama-ulama salaf lainnya, terutama al Imam asy-Syafi’i -semoga Allah meridlainya-, beliau sangat mumpuni dalam ilmu aqidah, demikian pula al Imam Abu Hanifah, al Imam Malik dan al Imam Ahmad -semoga Allah meridlai mereka- sebagaimana dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi (W 429 H) dalam Ushul ad-Din, al Hafizh Abu al Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam Tabyin Kadzib al Muftari, al Imam az- Zarkasyi (W 794 H) dalam Tasynif al Masami’ dan al 'Allaamah al Bayyadli (W 1098 H) dalam Isyarat al Maram dan lain-lain.

Telah banyak para ulama yang menulis kitabkitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Risalah al'Aqidah ath-Thahawiyyah karya al Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an- Nasafi (W 537 H), al ‘Aqidah al Mursyidah karangan al Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al Imam Muhammad ibn Hibatillah al Makki (W 599 H); beliau menamakannya Hadaiq al Fushul wa
Jawahir al Ushul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sulthan Shalah ad-Din al
Ayyubi (W 589 H) -semoga Allah meridlainya-, beliau sangat tertarik deng an buku tersebut sehingga memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil di madrasah-madrasah, sehingga buku tersebut kemudian dikenal dengan sebutan al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.

Sulthan Shalah ad-Din adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian
khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah dan Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al 'Aqidah as- Sunniyyah dan senantiasa penulisan itu terus berlangsung.

Wallahu a'lam

0 komentar:

Posting Komentar