Sabtu, 24 Januari 2009

Mustalah Hadith

Mustalah hadith ialah satu ilmu untuk mengetahui istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu hadith. Orang yang mula menyusunnya ialah Qadi Abu Mahmud al-Ramahramzi [Tahun 360 Hijrah].

Hadith menurut bahasa, ialah :
- Yang baharu,
- Perkhabaran,
- Yang dekat atau yang belum lama.

Menurut istilah ahli hadith pula: ialah segala ucapan nabi, segala
perbuatan dan segala keadaannya. Masuk ke dalam pengertian keadaannya,
segala yang diriwayatkan dalam buku sejarah seperti hal keputraannya,
tempatnya dan segala yang bertalian dengannya. Pengertian ini samalah
dengan pengertian sunnah menurut istilah golongan ahli hadith. Tetapi
pengertian ini berlainan dengan pengertian ahli usul. Dan sebab
berlainan ini ialah kerana berlainan jurusan yang mereka lihat dan
mereka tinjau.

Ahli (ulama') hadith membahaskan peribadi rasul sebagai seorang yang
dijadikan ikutan bagi umatnya. Kerana ini mereka pindahkan dan mereka
terangkan segala yang bersangkutan dengan rasul, baik mengenai riwayat,
perjalanannya, mengenai budi pekertinya, keutamaannya, keistimewaannya,
tutur katanya, perbuatan-perbuatannya; sama ada yang dapat mewujudkan
hukum atau tidak.

Ulama' usul membahaskan rasul sebagai seorang pengatur undang-undang
yang meletakkan atau menciptakan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid
sesudahnya, dan menerangkan kepada manusia perlembagaan
hidup (dustur al-hayat) maka mereka pun memperhatikan segala tutur kata
rasul, perbuatan-perbuatannya dan taqrirnya, yaitu pengakuan-pengakuannya bersangkutan dengan perkara penetapan hukum.

Sementara itu ulama' fiqh membahaskan peribadi rasul sebagai seorang
yang seluruh perbuatannya atau perkataannya atau menunjukkan kepada
suatu hukum syara'. Mereka membahaskan hukum-hukum yang mengenai para
mukallaf dan perbuatan mereka dari segi hukum wajib, haram, harus,
makruh dan mandub (sunat).

Wallahu a'lam

Selengkapnya......

Sabtu, 17 Januari 2009

ISTIWA dan Pembahasannya

"Istiwa’ adalah salah satu dari Sifat-sifat Perbuatan (min sifat al-af`al) menurut mayoritas pemahaman." - (Al-Qurtubi dalam tafsirnya hal:281). "Istiwa’ adalah salah satu dari Sifat-sifat Perbuatan (min sifat al-af`al) menurut mayoritas pemahaman." - (silah rujuk Al-Qurtubi dalam tafsirnya hal:281)


"Penetapan Arsy-Nya di langit telah diketahui, sedang Arsy-Nya di bumi adalah kalbu dari orang-orang yang mengikuti Tauhid (ahl al-tawhid). Dia (Allah) berkata:

وَٱلْمَلَكُ عَلَىٰ أَرْجَآئِهَآ وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ

“Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Rabbmu di atas (kepala) mereka. (Al-Haqqah:17)

Al-Qushayri dalam Lata'if al-Isharat, telah menyebutkan :

Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya :

"Dia (Allah) Yang Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alayhi istawa); sedang mengenai arsy di hati: Yang Maha Rahman menguasainya (`alayhi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada ada perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata'if al-Isharat jilid 4 hal:118)"

adapun ayat yang termaktub dalam Toha : 5

ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ

telah pula dikomentari oleh Al-Nawawi dalam al-Majmu` Sharh al-Muhadhzab sbb;

"Kami percaya bahwa “Ar-Rahman bersemayam atas arsy”, dan kami tidak tahu hakikat dan apa yang dimaksud (la na`lamu haqiqata mi`na dhalika wa al-murada bihi), pada saat yang sama kami percaya bahwa “tidak ada yang serupa dengan-Nya” (42:11) dan Dia Maha Tinggi di atas semua makhluk yang ditinggikan. Ini adalah jalan Salaf atau paling tidak mayoritasnya, dan inilah jalan paling selamat karena tidak perlu untuk membahas terlalu dalam masalah-masalah semacam ini". (al-Majmu` Sharh al-Muhadhdhab jilid 1 hal:25)

Imam Abdul Qohir al-Baghdadi telah mengutip pernyataan Imam Abu al-Hasan al-Ash`ari dalam Usul al-Din sbb ;

“Penetapan bahwa Allah Maha Tinggi di atas arsy adalah sebuah perbuatan di mana Dia telah memberi nama istiwa sehubungan dengan arsy, persis sebagaimana Dia telah menciptakan sebuah perbuatan bernama ityan (datang) sehubungan dengan orang tertentu, tetapi hal ini tidaklah mengakibatkan baik turun atau gerakan” (`Abd al-Qahir al-Baghdadi, Usul al-Din hal:113)

Al-Bayhaqi dalam al-Asma' wa al-Sifatnya telah pula menyatakan:

"Abu al-Hasan `Ali al-Ash`ari mengatakan Allah Maha Tinggi mengakibatkan sebuah perbuatan sehubungan dengan arsy, dan Dia menamai perbuatan itu istiwa, sebagaimana Dia mengakibatkan perbuatan-perbuatan lain sehubungan dengan hal-hal lain, dan Dia memberi nama perbuatan itu sebagai rizq, ni’mat, atau perbuatan lain dari –Nya. ( al-Asma' wa al-Sifat jilid 2 hal:308)

Ibn Abi Ya'la telah mengutip pendapat dari Abu al-Fadl al-Tamimi dimana beliau (Abu Fadl) telah menyebutkan dua sikap daripada Imam Ahmad mengenai istiwa’:


Kelompok yang pertama meriwayatkan bahwa dia menganggapnya sebagai “sifat dari perbuatan” (min sifat al-fi`l), yang lain, "dari Sifat Zat" (min sifat al-dhat)." (Ibn Abi Ya`la, Tabaqat al-Hanabila jilid 2 hal:296)

Dan dalam Fathl Bari, Ibn Battal juga telah menyebutkan bahwa Ahl al-Sunna memegang satu dari dua sikap tersebut :

“Mereka (Ahl Sunnah) yang memahami istawa sebagai `Dia meninggikan Diri-Nya Sendiri (`ala) menganggap istiwa sebagai sebuah Sifat Zati, sedang yang lain menganggap sebuah Sifat Perbuatan "(Fath al-Bari jilid 13 hal:406)

Al-Tamimi kemudian berkomentar lebih lanjut sehubungan dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Ahmad, dengan berkata:

[Istiwa’]: Ini bermakna ketinggian (`uluw) dan terangkat, kenaikan (irtifa`). Allah Maha Tinggi adalah selalu tinggi (`ali) dan terangkat/mulia (rafi`) tanpa permulaan, sebelum Dia menciptakan Arsy. Dia di atas segala sesuatu (huwa fawqa kulli shay'), dan Dia ditinggikan atas segala sesuatu (huwa al-`ali `ala kulli shay'). Dia mengkhususkan Arsy hanya karena maknanya nyata yang membuatnya berbeda dari segala yang lain, yaitu Arsy adalah benda terbaik dan paling tinggi di antara yang lain. Allah Ta’ala dengan demikian memuji Diri-Nya dengan mengatakan bahwa Dia “menetapkan Diri-Nya di atas Arsy”, yaitu bahwa Dia meninggikan Diri-Nya Sendiri atasnya (`alayhi `ala). Adalah boleh untuk mengatakan bahwa Dia menetapkan Diri-Nya Sendiri dengan sebuah perjanjian atau pertemuan dengannya. Allah Maha Tinggi dari semua itu! Allah tidak berkenaan dengan perubahan, penggantian tidak juga batasan, baik sebelum atau sesudah penciptaan Arsy.(Tabaqat al-Hanabila jilid hal:296-297).

Kemudian Ibn Hajar, dalam Fath al-Bari, telah menyebutkan ;

"Seorang ulama Maliki, Ibn Abi Jamra (w. 695H) mengatakan sesuatu pendapat yang serupa dalam komentarnya tentang hadis, “Allah menulis sebuah Al-Kitab sebelum Dia mencipta makhluk, perkataan: Ketahuilah rahmat-Ku mendahului kemarahan-Ku dan itu ditulis-Nya di atas Arsy”.

Hal ini mungkin dinyatakan dari kenyataan bahwa Al-Kitab disebut sebagai “di atas Arsy” bahwa kebijakan ilahi telah menentukan bagi Arsy untuk membawa apa pun yang Allah inginkan sebagai catatan atas keputusan-Nya, kekuatan-Nya, dan ilmu-Nya atas hal ghaib. Hal itu untuk menunjukkan kekhususan dari Ilmu-Nya yang meliputi segala masalah ini. Hal ini membuat Arsy sebagai salah satu dari tanda-tanda terbesar yang khusus dari Allah atas pengetahuan atas hal ghaib. Hal ini dapat menjelaskan ayat istiwa untuk merujuk kepada apa pun yang Allah inginkan karena kekuasaan-Nya, yaitu Al-Kitab yang Allah telah letakkan di atas Arsy-Nya” (Fath al-Bari, jilid 13 hal:414)

Selanjutnya Sufyan al-Thawri (w. 161 H) mengartikan istiwa’ dalam ayat “ Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Ars” sebagai “perintah sehubungan dengan Arsy” (amrun fi al-`arsh), sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Haramayn al-Juwayni dan dikutip oleh al-Yafi`i bukunya Marham al-`Ilal al-Mu`dila fi Daf` al-Shubah wa al-Radd `ala al-Mu`tazila (Marham al-`Ilal hal:245)

Di dalam Al-Irsyad, pengertian istiwa sebagai cara/jalan bagi Allah untuk perintah khusus sehubungan dengan Arsy tidak berhubungan dengan jarak dan ini adalah ta’wil dari Imam Sufyan al-Thawri, yang mengambil bukti pendukung bagi ayat: “Kemudian Dia menuju kepada (thumma istawa) langit dan langit itu masih merupakan asap” (41:11), dengan arti “Dia melanjutkan padanya " (qasada ilayha).(Abu al-Ma`ali Ibn al-Juwayni, al-Irshad hal:59-60)

Al-Tabari dalam Tafsirnya, ketika menafsirkan ayat


ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّٰهُنَّ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Kemudian Dia menuju kepada (thumma istawa) langit dan dijadikan-Nya tujuh langit “(Al-Baqarah :29)

menyatakan ;

"Arti istiwa pada ayat ini adalah ketinggian (‘uluw) dan ditinggikan… tetapi jika orang mengklain bahwa ini berarti prepindahan untuk Allah, katakana padanya: Dia Maha Tinggi dan Ditinggikan atas langit dengan ketinggian dari kekuasaan dan kekuatan, bukan ketinggian dari perpindahan dan pergerakan ke sana dan ke sini".

Sikap inilah yang kemudian difahami oleh Asy’ariah, sebagaimana ditunjukkan oleh sejumlah komentar dari Abu Bakr bin Arabi dan Ibn Hajr mengenai hal ini12 bertentangan dengan penafsiran orang yang mengartikannya dengan ketinggian jarak seperti Ibn Taymiah. Ibn Taymiah mengatakan: “Maha Pencipta SWT adalah di atas dunia dan keadaannya dalam arti literal, bukan dalam arti kekuasaan atau kedudukan”. 13 Doktrin ini dengan menyeluruh dibantah oleh Ibn Jahbal al-Kilabi (w. 733H dalam Radd `ala Man Qala bi al-Jiha ("Bantahan terhadap Ibn Taymiyya Yang Menyifati Allah SWT dengan Arah” ")14 dan Shaykh Yusuf al-Nabahani (1265-1350H) dalam bukunya Raf` al-Ishtibah fi Istihala al-Jiha `ala Allah (“Menghilangkan Keraguan atas Kemustahilan Arah bagi Allah”).
(al-Nabahani dalam Shawahid al-Haqq hal:210-240)

Didalam al-Fisal, Ibn al-Jawzi (w 597H) pengantar bukunya Daf` Shubah al-Tashbih mengutip pendapat anthropomorphist, “Mereka tidak senang untuk mengatakan, “Sifat perbuatan (sifatu fi`l) sehingga mereka mengakhiri dengan perkataan, “Sifat Zat” (sifatu dhat).Ibn Hazm juga berkata, “Jika penempatan di atas arsy adalah abadi tanpa awal, maka Arsy adalah abadi tanpa awal, dan ini adalah pendapat yang kufur”
(al-Fisal jilid 2 hal:124)

Al-Baihaqi mengutip pernyataan salah satu pengikut Asy’ariah, Abu al-Hasan `Ali ibn Muhammad ibn Mahdi al-Tabari dalam bukunya Ta'wil al-Ahadith al-Mushkalat al-Waridat fi al-Sifat ("Penafsiran atas Riwayat yang Sulit mengenai Sifat (Allah), dimana telah dinyatakan :

“Allah di atas segala sesuatu dan menetap di atas Arsy dalam arti bahwa Dia Ditinggikan atasnya, arti dari istiwa’ adalah Pengangakatan-Diri (i`tila')."(al-Bayhaqi, al-Asma' wa al-Sifat jilid 2 hal:308)
Ini adalah interpretasi yang paling diterima di kalangan Salaf; Al-Baghawi mengatakan bahwa ayat, “Ar-Rahman alal arsy istawa” (20:5) menurut Ibn Abbas dan kebanyakan mufasir Quran adalah “Dia mengangkat Diri-Nya Sendiri” " (irtafa`a)
(Ibn Hajar dalam Fath al-Bari jilid 13 hal:409)

Ini adalah penafsiran yang dikutip dari al-Bukhari dalam Sahih dari Tabi’in Rufay` ibn Mahran Abu al-`Aliya (w. 90H). Al-Bukhari juga mengutip dari Mujahid (w. 102H) penafsiran "menaikan" atau "mengangkat Diri-Sendiri ke atas" (`ala). Ibn Battal menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah sikap dan perkataan yang benar dari Ahlu Sunah, karena Allah menyatakan Diri-Nya Sendiri sebagai Al-‘Ali,Yang Maha Ditinggikan” (2:255), dab berfirman: “maka Maha Tinggilah Dia (Ta’ala) dari apa yang mereka persekutukan. (QS. 23:92)” (Ibid hal 446)

Sebaliknya, dalam sikap yang bertentangan dengan di atas adalah Ibn Taimiyah dalam Majmu` al-Fatawanya, telah menyatakan :

“Penempatan di atas Arsy adalah nyata, dan penempatan hamba di atas kapal adalah nyata” (lillahi ta`ala istiwa’un `ala `arshihi haqiqatan wa li al-`abdi istiwa’un `ala al-fulki haqiqatan)."Allah berserta kita dalam kenyataan dan Dia di atas Arsy dalam kenyataan (Allahu ma`ana haqiqatan wa huwa fawqa al-`arshi haqiqatan).. . .Allah beserta makhluk secara nyata dan Dia di atas Arsy secara nyata (Allahu ma`a khalqihi haqiqatan wa huwa fawqa al-`arshi haqiqatan)"

Penafsiran lain yang umum digunakan oleh kalangan Asy’ariah belakangan untuk istiwa adalah isti'la dan qahr, masing-masing berarti “kekuasaan yang kuat” dan “penguasaan”. Ibn Abdus Salam berkata dalam Mukhtar al-Sihah telah menyatakan :

Istiwa atas Arsy adalah metaphor untuk kekuasaan yang kuat (istila') atas kerajaan-Nya dan mengaturnya, sebagaimana puisi mengatakan :

qad istawa Bishrun `ala al-`Iraq min ghayri sayfin wa damin muhraq
"Bishr menguasai Iraq tanpa pedang dan tanpa pertumpahan darah" (Mukhtar al-Sihah hal:136)

kemudian beliau (Ibn `Abd al-Salam) menjelaskan dalam al-Ishara ila al-Ijaz :

Bahwa ini adalah metaphor yang mengandung kemiripan dengan raja, yang mengatur urusan kerajaan-kerajaan mereka sementara dia duduk di antara para punggawa dan pangeran. Singgasana bisa juga dinyatakan sebagai kedudukan, seperti perkataan Umar ra.: 23 "Singgasanaku akan jatuh jika saya tidak mendapat rahmat dari Tuhan" (al-Ishara ila al-Ijaz hal:104-112)

Sedangkan golongan Al-jismiyah pula mengatakan:

“Artinya (dari istiwa itu) adalah penempatan (al-istiqrar)."25 Sebagian Ahl al-Sunna mengatakan: “itu artinya Dia mengangkat Diri-Nya Sendiri (irtafa`a)”, sementara yang lain: "Itu artinya menguasai (`ala),"”, dan yang lain mengatakan: “Artinya kerajaan (al-mulk) dan kekuatan (al-qudra)."

Dimana penafsiran istawa sebagai istaqarra (menetap) dalam ayat


ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ

“Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy” (32:4) sebenarnya diriwayatkan dari al-Kalbi dan Muqatil oleh al-Baghawi – dalam tafsirnya berjudul Ma`alim al-Tanzil (al-Manar ed. 3:488) – yang menambahkan bahwa Ahli asal bahasa (Filologis) Abu `Ubayda [Ma`mar ibn al-Muthanna al-Taymi (d. ~210)] mengatakan "Dia menetap (mounted)" (sa`ida). Pickthall mengikuti yang belakangan ini dalam menafsirkan ayat: “Then He mounted the Throne”. Inilah sikap dasar dari "Salafi" sebagaimana dinyatakan oleh Imam Muhammad Abu Zahra: " Salafis dan Ibn Taymiyya menyatakan bahwa penempatan terjadi atas Arsy …. Ibn Taymiyya dengan semangat menyatakan bahwa Allah turun dan bisa di atas (fawq) dan di bawah (that) ‘tanpa bagaimana”.... dan bahwa manhaj Salaf adalah konfirmasi segala sesuatu yang dinyatakan dalam Al-Quran mengenai ‘atas’ (fauqiyah), “bawah” (tahtiyah) dan “semayam di atas Arsy” (secara leterlek )" (Abu Zahra, dalam al-Madhahib al-Islamiyya hal:320-322)


Kefahaman Asy-Ariyyah atas ISTIWA

Penafsiran kaum Sunni yang belakangan diketahui mempunyai kemiripan dengan istila' dan qahr, yang sama juga ditafsirkan oleh kaum Mu'tazilah. Tetapi, dikarenakan kaum Mu’tazilah mengklaim bahwa Sifat Ketuhanan itu berawal dalam waktu daripada tanpa ciptaan dan tanpa awal, maka penafsiran mereka atas hal tersebut ditolak oleh ulama ahli Sunah. Ibn Battal mengatakan:” Posisi Mu’tazilah adalah hampa dan ditolak, karena Allah itu qahir, ghalib, dan mustawli tanpa awal." (Fath al-Bari jilid 3 hal:409)

Ibn Battal kemudian merujuk kepada pendapat Asy’ari di mana Sifat Perbuatan Allah seperti mencipta, meski berhubungan dengan makhluk, adalah tanpa awal sehubungan dengan Allah. 28 Kepada mereka yang keberatan dengan istawla dengan dasar bahwa hal itu necessarily supposed prior opposition,29 Ibn Hajar mencatat bahwa asumsi itu ditolak oleh ayat: “Allah dahulu adalah (kana) Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana” yang tafsirkan oleh ulama dengan arti, “Dia selalu Maha Tahu dan Maha Bijaksana”
(Ibn Khafif dalam Al`Aqida hal:15-19)

Ahli Bahasa dari Ash`ariah al-Raghib al-Asfahani (w. 402H) mengatakan bahwa istawa `ala memiliki arti istawla `ala ("Dia menguasai") dan dia mengutip ayat istiwa (20:5) sebagai sebuah contoh dari makna ini: “Hal ini berarti bahwa segala sesuatu sama dalam hubungannya dengan Dia, dalam arti bahwa tidak ada hal yang lebih dekat dengan Dia disbanding dengan yang lain, karena Dia tidak seperti badan yang berada secara tertentu di suatu tempat dan bukan di tempat lain” (al-Zabidi hal : 132)

Dalam arti ini, baik pendapat Mu’tazila tentang awal dari Sifat dan Literalis mengenai pendudukan-setelah-perjuangan (conquest -after-struggle) telah tertolak, dan istawla dapat dengan aman diterima di kalangan Ahl Sunah. Sebagaimana Ibn Battal mengatakan, “ pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau “Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21). Al-Raghib, berkata:” itu berarti bahwa segala sesuatu adalah seperti itu dalam hubungannya dengan Dia” dan dia tidak mengatakan, “menjadi seperti”.

Ibn Al-Jauzi menyebutkan alasan lain untuk membolehkan tafsiran ini: “Siapa saja yang mengartikan “Dan Dia beserta kamu” (57:4) dalam arti “Dia beserta kamu dalam pengetahuan”, semestinya membolehkan lawannya untuk menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”, menguasai.
(Shubah al-Tashbih hal:23)

Begitu juga pemberian arti secara bahawa istiwa dengan istawla sebelumnya, diberikan oleh al-Akhtal (w. seb 110H) yang mengatakan: “Bishr menguasai (istawa ‘ala) Iraq tanpa pedang dan tanpa tumpahan darah”. Sebagian “Salafi” menolak penafsiran ini dengan dasar bahwa al-Akhtal adalah seorang Kriten abad ke-2H. Hal ini menunjukkan ketidaktahuan akan criteria yang disepakati bersama atas
kekuatan pembuktian puisi bahasa Arab dalam Syariah, yang berkembang hingga abad 150 dan terlepas dari keyakinannya.

Sorotan atas Kefahaman Jismiyyah

Adapun penafsiran istiwa sebagai duduk (julus), hal ini dinyatakan dalan buku yang dinisbatkan kepada `Abd Allah ibn Ahmad ibn Hanbal berjudul Kitab al-Sunna pada hal: 5, 71), telah dinyatakan :

"Adakah makna lain dari bersemayam (istiwa’) selain duduk (julus)?" “Allah SWT duduk di atas Kursi dan menetap di sana hanya 4 langkan yang kosong”.

Al-Khallal dalam Kitab al-Sunna juga telah menyatakan, menyatakan baransiapa yang menolak bahwa “Allah duduk di atas kursi dan terdapat jarak langkah yang kosong” adalah kafir. (Kitab al-Sunna hal :215-216)

Bahkan `Uthman al-Darimi bahkan mengatakan lebih jauh, “Jika Dia berkehendak, Dia bahkan bisa duduk di atas kutu ….., apalagi Arsy yang besar”. Ibn Taymiyya dan Ibn al-Qayyim mendukung pandangan ini.(al-Sunna hal :215-216)
Ibn Taimiyyah telah mendaulatkan pula hal ini, dengan melafadzkannya dalam Majmu' Fatawa Jilid 4 hal : 374, bahwasanya Allah SWT "duduk" di arsy


إذا تبين هذا، فقد حدَّثَ العلماء المرضيون وأولياؤه المقبولون‏:‏ أن محمدًا رسول اللّه صلى الله عليه وسلم يجلسه ربه على العرش معه‏

kemudian demi mengikuti daripada apa yang telah dilakukan oleh Al-Khalal, maka Ibn Taimiyyah juga telah menyatakan "sesiapa yang menolak, bahwa Allah itu "duduk" maka ia termasuk kedalam "Jahmiyyah"

لا يقول‏:‏ إن إجلاسه على العرش منكر ـ وإنما أنكره بعض الجهمية


Tanggapan atas Kaum Jismiyyah yang menyatakan Allah "duduk"

Al-Kawthari telah menulis dalam Maqalat :

"Siapa saja yang membayangkan Tuhan kita duduk di atas kursi, dan meninggalkan tempat kosong di sampingnya untuk Rasul-Nya duduk, dia telah mengikuti kaum Nasrani yang percaya bahwa Isa AS diangkat ke langit dan duduk di samping Bapanya – Allah ditinggikan dari persekutuan yang mereka sifatkan kepada-Nya” (Maqalan hal 137)

Ini disamakan dengan Aqidah daripada kaum kafir, yang juga menyatakan bahwa "tuhan itu duduk" di atas kursi, yang terdapat dalam kitab kaum kafir pada nom ayat 7 :


الله جالس على الكرسي العالي” (اش 6 :1-10

Kata kufur tersebut bermaksud :

"Allah Duduk Di atas Kursi Yang Tinggi”.

dan juga seperti apa yang tertera pada kitab Yahudi Safar Al-Muluk Al-Ishah 22 Nombor 19-20, sbb ;


قال فاسمع إذاً كلام الرب قد رأيت الرب جالسًا على كرسيه و كل جند السماء وقوف لديه عنيمينه و عن يساره

Kata-kata kufur Yahudi tersebut bermaksud :

“Berkata : Dengarlah akan engkau kata-kata tuhan, telahku lihat tuhan duduk di atas kursi dan kesemua tentera langit berdiri di sekitarnya kanan dan kiri” .

Wallahu a’lam.

Allahumma shali ‘alaa Muhammad wa aali wa shahbihi wa salim.

Selengkapnya......